‘Pergerakan’ dan Esensi Pancasila

EMBUN JUM’AT

Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA

Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua Bidang Pendidikan, Agama, dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia – Sukoharjo Jawa Tengah |  jafar.assagaf@uin-suka.ac.id


Pergerakan adalah kata yang merujuk pada suatu perihal atau keadaan bergerak, dan dapat pula diartikan dengan kebangkitan (KBBI online). Kata tersebut dipakai untuk tulisan kecil ini karena beberapa hari yang lalu seiring dengan hari lahirnya Pancasila 1 Juni, terdapat banyak postingan bersiliweran di medsos yang mempertentangakan antara Pancasila versi Bung Karno (w. 1970 M) dengan Pancasila sekarang yang dinilai berasal dari ulama. Seolah-olah hal tersebut berbeda jauh, berlawanan dan secara esensi tidak sama.

Sejarah tentang Pancasila memang bertahap. Satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa Pancasila merupakan ide sang Proklmator Bung Karno. Saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk sekitar 1 Maret 1945, dokter KRT Radjiman Wedyodinigrat (w. 1952 M) mengajukan pertanyaan pada anggota sidang tentang dasar negara Indonesia. Bermula dari sini, maka muncullah ide tentang Pancasila. Pidato Muhammad Yamin (w. 1962 M) tentang lima dasar negara pada 29 mei 1945 diragukan oleh sang proklamator kedua Bung Hatta (w. 1980 M). Lalu muncullah pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 inilah yang dinilai sebagai hari lahir Pancasila, sebab pidatonya saat itu sangat berkesan meski tak lepas dari ‘kritikan dan masukan’ maka pidato tersebut digodok oleh panitia sidang yang dikenal dengan nama Panitia Sembilan, pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.

Hal terpenting yang perlu diingat, terlepas dari polemik penentuan frasa kalimat yang ada dalam Pancasila khususnya sila Pertama, yaitu adanya kesepakatan dari tim perumus Pancasila termasuk di dalamnya perwakilan ulama dan tokoh nasionalis. Kesepakatan inilah yang seharusnya dipahami melalui alur hisrois bahwa ide Bung karno merupakan tonggak awal dan telah menjadikan tokoh-tokoh tersebut ‘menerima’ idenya meski dengan beberapa perubahan frasa kata.

Di masa kini, hal yang sering dipertentangakan misalnya sila Pertama antara Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Ketuhanan yang Berkebudayan. Kedua hal itu seharusnya tak perlu dipolemikkan, karena tiga alasan: pertama, Ketuhanan yang Berkebudayaan menurut hemat penulis bukan menjadikan agama sebagai budaya, namun ingin menegaskan bahwa Ketuhanan bagi bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sehingga dinilai seperti budaya yang abadi bagi anak bangsa ini, tegasnya bangsa Ineonesia adalah bangsa yang beragama. Maka mereka yang tidak beragama justeru harus ‘tersindir’ dengan adanya frasa Ketuhanan Berkebudayaan, karena bangsa ini sejak awal telah meyakini adanya Tuhan yang berkuasa, entah keyakinnan tersebut terjewantahkan dalam bentuk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu maupun aliran kepercayaan lainnya, meski berbeda tentang siapa Tuhan itu ? tetapi semuanya tetap meyakini adanya Yang Maha Kuasa. Memang, bahasa Bung Karno tersebut dapat menimbulkan aneka interpertasi, karena itu setelah diskusi panjang lebar, idenya digodok lalu lahirlah bahasa Ketuhanan Yang Maha Esa, maka siapapun yang tidak percaya pada Tuhan tentu bukan merupakan bagian dari masyarakat berideologi adanya Tuhan;

Kedua, peristiwa penentuan sila-sila Pancasila memang diakui secara historis telah menguras tenaga para pendiri bangsa ini, sejak idenya Bung Karno, Piagam Jakarta, lalu menjadi Pancasila yang dikenal sekarang tak lepas dari polemik, bahkan sesudah kemerdekaan khususnya Orde Lama. Bagaimanpun, toh Pancasila yang ada sekarang hemat penulis merupakan perekat dan pemersatu bangsa. Dengan alasan ini pula maka ide untuk mengembalikan Pancasila seperti Piagam Jakarta, atau digabung menjadi Eka dan atau Tri Sila hanya akan kembali membuka peluang adanya keterpurukan dan perpecahan anak bangsa ini. Sejatinya Pansila yang sudah ada sekarang merupakan konsesus seluruh anak bangsa Indonesia agar NKRI tetap berdaulat dengan kokoh dan kuat;

Ketiga, latar belakang Bung Karno meski seorang nasionalis namun sang proklamator bukanlah orang yang ‘sepi’ dari pengetahuan agamanya sendiri. Era itu, sangat dikenal bagaimana aneka diskusi Bung Karno dengan KH. Agus Salim (w. 1954 M ), bahkan dengan M. Natsir (w. 1993 M) terkait pemahaman agama Islam. Kelihatan Bung Karno berusaha memahami secara konteks. Salah satu misalnya tentang mencuci jilatan anjing dapat diganti dengan sabun, konon ini termasuk polemiknya dengan M Natsir yang sering disebut-sebut bertengkar (tapi) bersahabat. Tentu Bung Karno saat menyatakan hal tersebut telah memiliki referensi, ya rujukan saat itu termasuk al-Azhar di bawah pimpinan Mahmud Syaltut (w. 1963 M) yang membolehkan mencuci jilatan anjing selain dengan tanah.

Pemahaman Bung Karno di atas yang hemat penulis meramu dan memunculkan ide Pancasila, meski secara bahasa kemudian diubah. Pada akhirnya ulama, tokoh nasionalis dan Bung Karno sendiri dapat bertemu dan menerima Pancasila yang sekarang karena sesungguhnya Pancasila mengandung nilai universal tentang Tuhan, kemanusiaan, kebaikan dan kebersamaan.

Dalam kajian Islam, khususnya hadis Nabi Muhmmad saw., esensi Pancasila dapat ditemukan dalam berbagai riwayat. Sila pertama Pancasila dapat dipahami misalnya dari salah satu hadis riwayat Muslim dari sahabat Abi Hurairah (w. 58 H):

جاء ناس من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم فسألوه :إنا نجد في أنفسنا ما يتعاظم أحدنا أن يتكلم به قال وقد وجدتموه ؟ قالوا نعم قال ذاك صريح الإيمان

Artinya: “datang beberapa orang dari (kalangan) sahabat Nabi suci saw, lalu mereka bertanya padanya:‘sungguh kami dapati dalam diri (pikiran) kami apa yang memberatkan salah satu dari kami untu mengungkapnya, (lalu) Nabi suci saw bersabda:‘apakah kalian mendapatinya ?’ mereka menjawab:‘ya (kami mendapatinya)’, lalu Nabi saw bersabda: ‘itulah iman yang nyata”.

Hadis ini dalam riwayat Muslim lainnya memberikan penjelasan tambahan bahwa yang dirasakan oleh sahabat tersebut adalah semacam was-was; keraguan atau semacam kekhawatiran seputar pertanyaan siapa yang menciptakan Allah swt, namun Nabi suci saw menjawab itulah iman yang nyata (Muslim, I, 1992). Penegasan Nabi suci saw menunjukkan sebuah kewajaran bila seseorang bertanya tentang Allah swt, namun keraguan postif itu yang akan mengantarnya pada keyakinan adanya Allah swt. Hadis ini memberikan penegasan bahwa Tuhan tetap ada, tidak seperti anggapan atheis tentang ketiadaan Tuhan, dan inilah esensi dari sila pertama Pancasila mengakui keberadaan Tuhan(bagi umat Islam Allah swt).

Esensi sila kedua Pancasila dapat dilihat dalam hadis riwayat Bukhari tentang semua manusia sama dalam hukum, tentang permisalan siapapun yang mencuri akan dipotong tangannya (Bukhari, IV, 1995). Meskipun ada peluang memafkan jika kasus tersebut belum dibawa ke hakim seperti dalam riwayat al-Nasa’i tentang Shafwan bin Umayyah (w. 41 H) memaafkan orang yang mencuri barangnya, tetapi setelah dibawa ke Rasul suci saw (al-Nasa’i, IV, vol VIII, 1995) yang saat itu dinilai sebagai hakim; lembaga yudikatif. Dalam kedua hadis di atas ada keseimbangan antara keadilan dan ihsan atau berbuat baik dengan memaafkan, tentu sebelum dibawa dan diproses di pengadilan. Inilah nilai dari beradab dalam sila kedua. Keadilan ditegakkan bila telah sampai di meja hukum untuk menunjukkan supremasi hukum dan agar orang-orang tidak meremehkan hukum. Tetapi jauh sebelum ke pengadilan, dalam Islam yang sesuai tradisi masyarakat Indonesia adalah penyelesaian kekeluargaan, inilah bahasa beradab dengan cara memaafkan. Bukan seperti yang kerap terjadi belakangan, setelah ditangkap karena menebar hoax atau kesalahan lainnya baru meminta maaf.

Esensi sila ketiga Pancasila dapat dilihat dalam sejarah dan hadis tentang kesatuan umat di Madinah di mana kaum Yahudi Madinah baik Qainuqa, Nadzhir, Quraizhah dan lainnya termasuk satu kesatuan umat dengan kaum Muslim yang diikat oleh Piagam Madinah. Begitu pula dengan perjanjian Hudaibiyyah (6 H) dimana bani Khuza’ah yang non Muslim masuk dalam sekutu Kaum muslim sementara lawan mereka adalah kaum kafir Quraisy. Konteks ini adalah sebuah pelajaran berharga tentang esensi persatuan meski berbeda.

Esensi sila keempat Pancasila dapat dilihat dalam konsep musyawarah yang dinilai mirip dengan proses demokrasi, musyawarah untuk mufakat. Begitu pula dengan perwakilan masyarakat yang di masa lalu dalam Islam disebut ahl halli wa al-aqd. Bermusyawarah merupakan hal yang dianjurkan baik dalam al-Qur’an (ali-Imran; 159) dan hadis Nabi suci riwayat Abu Daud (III, 2003):

الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ

Artinya: “orang yang diajak bermusyawarah adalah mereka yang bisa memegang amanah”

Hadis ini memberikan rambu-rambu bagi masyarakat saat memilih perwakilan mereka guna menyelesaikan aneka probematika masyarakat. Pilihan tetap di tangan rakyat, maka rakyatlah yang menentukan siapa orang yang dapat dipilih untuk bermusyawarah di lembaga legislatif bahkan memilih pemimpin mereka sendiri.

Esensi sila kelima Pancasila dapat dilihat dalam banyak hadis tentang memperhatikan orang-orang yang tidak mampu, bahkan keberadaan orang-orang yang lemah tersebut sesungguhnya ikut menjadikan orang lain sukses (Abu Daud, II, 2003; al-Nasa’i, III, vol. VI, 1995), dan tentang putaran uang agar tidak hanya milik orang kaya (QS: al-Hasyr;7). Semuanya memuat nilai dan esensi sila kelima dari Pancasila.

Uraian singkat terkait sebagian kecil esensi dari lima sila Pancasila di atas, memberikan jawaban pada kita bangsa Indonesia, khususnya umat Islam kenapa ulama saat itu menerima Pancasila. Maka amat disayangkan bila ada orang yang menolak Pancasila dengan alasan yang dibuat-dibuat dan bahkan menilai itu adalah produk dari orang-orang yang menyimpang. Tentu anggapan kerdil dan keliru tersebut disebabkan mereka tak pernah memahami, menghayati dan menemukan esensi Pancasila dalam ajaran Islam sebagaimana para ulama kita dahulu melihatnya.

wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb

Leave a comment

Tentang Kami

alkhairaat-ternate.or.id adalah situs resmi milik Alkhiraat Cabang Kota Ternate, sebagai media silaturahmi dan dakwah dengan menyajikan informasi seputar pendidikan, dakwah dan sosial, serta mempromosikan tulisan-tulisan rahmatan lil-alamin yang berakar pada kearifan tradisi

Hubungi Kami

Alamat: Jl. Kakatua, No.155, Kelurahan Kalumpang, Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku UtaraTelepon: (0921) 312 8950email: alkhairaat.ternate@gmail.com