Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Tanggal 11 Juni 1913, Charles Fabry (w. 1945) fisikiawan Perancis untuk pertama kalinya menemukan di atmosfer atas lapisan ozon yang berfungsi sebagai layar yang melindungi kehidupan di permukaan bumi dari sebagian besar efek berbahaya ultraviolet, radiasi dari matahari (https://www.britannica.com/biography/Charles-Fabry), meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menentukan tanggal 16 September sebagai hari ozon sedunia untuk diperingati setiap tahunnya sejak tahun 1994. Pada 16 Mei 1985 dalam jurnal Nature, Joe Farman (w. 2013), Brian gardiner dan John Shanklin mempublikasikan temuan mereka tentang lubang ozon seperti dilansir sejarah-negara.com pada 16 Mei 2021.
Kondisi normal lapisan ozon merupakan salah satu bagian keseimbangan alam semesta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, keseimbangan berarti keadaan yang seimbang, berasal dari kata imbang artinya sebanding, sama; berat, ukuran maupun derajatnya. Kata alam merujuk pada segala yang ada di langit dan di bumi, atau dalam skala yang lebih kecil yaitu lingkungan kehidupan (kbbi online). Manusia termasuk bagian dari alam bahkan dari lingkungan hidup di sekitarnya, tetapi tak jarang manusia tidak dikelompokkan sebagai bagian dari alam, entah disebabkan keegoannya bergabung bersama aneka makhluq dan benda ‘mati’ ? tetapi dapat dindera dengan mata maupun alat, atau justeru karena manusia merasa sebagai ‘pengendali’ alam? mengaturnya bahkan menghancurkannya.
Dalam al-Qur’an disebutkan segala sesuatu yang berada di alam semesta milik Allah swt (QS:al-Baqarah; 284) dan semua benda di alam pada hakikatnya ‘hidup’ karena mereka senantiasa bertasbih kepada sang Pencipta (QS: al-Jum’ah; 1). Menarik diperhatian, kata yang digunakan dalam ayat pertama surah al-Jum’ah tersebut adalah يسبّح (present continuous tense/فعل المضارع) yang menunjukkan adanya keberlangsungan tasbih dari mereka semua kepada Allah swt, termasuk manusia meski kebanyakan manusia lalai. Padahal segala yang menjadi milik Allah swt dititipkan kepada manusia agar dipergunakan sebaik-baiknnya dengan tujuan untuk memudahkan manusia menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, dengan cara Dia menundukkan apa saja yang ada dilangit dan bumi kepada manusia agar mereka dapat memanfaatkannya (renungkan QS: al-Jatsiah; 13)
Ketika memanfaatkan segala yang ada di alam, manusia dituntut menciptakan dan bahkan memprogram keseimbangan untuk kepentingan manusia sendiri dari aspek kenyamanan, keselamatan dan bahkan kehidupan mereka. Dalam banyak hadis ditemukan secara literal maupun kontekstual memuat keseimbangan tersebut. Larangan Nabi suci Muhammad saw agar tidak membuang hajat di sumber air, di jalan, dan di tempat berteduh (HR Abu Daud, I, 2003,) sekaligus sebagai keseimbangan untuk memelihara kebersihan air; larangan untuk tidak menyia-nyiakan hewan peliharaan (HR Ahmad, IV, t.th); larangan memotong pohon tanpa keperluan seperti riwayat Abu Daud dari sahabat Abdullah bin Hubsyi (w. ?):
من قطع سدرة صوب الله رأسه في النار
Artinya: “siapapun yang memotong pohon bidara (jenis ziziphus spinal christi), Allah akan hadapkan wajahnya ke neraka”
Imam Abu Daud (w. 275 H) menjelaskan larangan menebang pohon tersebut di tempat yang luas, tanah lapang atau gurun secara sia-sia tanpa ada alasan yang benar. Padahal pohon itu digunakan untuk berteduh bagi orang yang berada dalam perjalanan, dan hewan, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka (Abu Daud, IV).
Selain dalam bentuk larangan, Nabi suci saw juga menetapkan konsep keseimbangan (التوازن) melalui perintah dan anjuran seperti perintah untuk menghidupkan tanah yang terlantar (HR. Turmudzi, III, 2003); menanam pohon isyarat reboisasi (HR. Muslim, II, 1993), bahkan keseimbangan dalam diri manusia juga diisyaratkan dalam anjuran berbuka dengan kurma atau air (HR. Turmudzi, II) untuk menyegarkan atau mungkin mengisi kekurangan energi khususnya gula selama berpuasa dan anjuran untuk memberikan nama-nama yang baik pada manusia (HR. Abu Daud, IV) sebagai bentuk keseimbangan dari aspek psikologi (HR. Abu Daud, IV).
Pada dasarnya terdapat larangan berbuat kerusakan di muka bumi (QS: al-Baqarah; 205, al-A‘raf;56), merusak keseimbangan udara dari polusi sebagai salah satu penyebab menipisnya ozon termasuk dalam pesan-pesan ayat tersebut. Keseimbangan memelihara udara dari polusi, tidak secara literal disebut dalam hadis Nabi suci saw, namun terdapat beberapa riwayat yang mengisyaratkan keadaan itu; entah dengan lafadz الجوّ (al-jawwu) maupun الهواء (al-hawa), keduanya kadang diartikan sama yaitu angkasa; ruang yang berada antara langit dan bumi, dan kadang al-hawa dikaitkan dengan cuaca; udara (Ibn al-Atsir, I, 1979; Anis, I-II, 1972).
Melalui kata al-jawwu terdapat riwayat tentang jarak kemampuan burung terbang ke atas (al-Fakihiy, I, 1994) dan bintang al-durriyy (bersinar terang) berada di angkasa; langit (Abu al-Syeikh al-Asbahaniy w. 369 H, III, 1408 H ) yang terlihat oleh manusia dari bumi, dan suara yang naik di angkasa (HR. al-Darimi w. 255 H, I, 2005).
Ada hal menarik, dimana kata al-hawa disebutkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah (w. 235 H. VII, 1988) dan lainnya berisi doa yang Nabi suci saw ajarkan kepada Ibn Mas‘ud (w. 32 H), di antaranya memuat kalimat:
…سبحان الذي في الهواء رحمته…
Artinya: “…maha suci Zat (Allah swt) yang di angkasa (ada) rahmat-Nya…”
Ungkapan tersebut dapat diinterpretasi dengan: (1) rahmat Allah swt berupa udara (oksigen) yang senantiasa ada untuk manusia dan itu selalu berputar di angkasa; (2) rahmat Allah swt yang ada di angkasa berupa hal-hal yang belum dapat diketahui di masa Nabi suci saw hidup, mungkin termasuk lapisan ozon yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia di bumi. Kata rahmat diiterpretasi demikian sebab kata itu pasti maksudnya bukan langit, sebab kata langit telah disebutkan di riwayat itu pula sebagai tempat ‘Ars-Nya. Sementara surga dalam riwayat yang sama disebut “mahasuci Zat (Allah swt) yang di surga (ada) rahmat-Nya” merujuk di antaranya, kehidupan di surga termasuk kekal dan kehidupan manusia di bumi ‘kekal’ bergantung dari kondisi al-hawa yang memuat banyak udara (oksigen); (3) dapat pula diartikan kata al-hawa secara metaforis sebagai tempat yang berada di atas adalah sumber hidayah yang datang dari Allah swt.
Secara kontekstual, riwayat Abu Daud dari Farwah bin Musaik (di masa Umar ra w. 23 H, ia masih hidup) menyebutkan kalau di tempat dan lingkungannya terdapat wabah yang dahsyat, lalu Nabi suci saw bersabda:
…دَعْهَا عَنْكَ فَإِنَّ مِنَ الْقَرَفِ التَّلَفَ
Artinya: “tinggalkanlah (pergilah engkau dari) lingkungan itu, karena bercampur dengan wabah (menyebabkan) kebinasaan (hancur; mati). Ibn al-Atsir (w. 606 H) menerangkan bagian dari pengobatan adalah memperbaharui/memperbaiki udara dari hal-hal yang menganggu kesehatan jasmani (IV).
Kesehatan dan kehidupan akan lebih berkualitas bila terdapat keseimbangan antara apa saja yang naik ke lapisan ozon dengan pola kehidupan manusia di bumi. Tanpa keseimbangan, bukankah kita di masa kini telah merasakan akibatnya, munculnya covid 19 ? entah itu disebabkan ego (rekayasa) manusia yang tak mampu menguasai diri ataukah memang karena alam telah bosan, sebab manusia terlalu jauh mengeksploitasinya tanpa batas.
wa Allâhu a’lam bi al-shawâb …
ilustrassi gambar : https://news.stanford.edu/