Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kehidupan anak manusia di dunia selalu dilewati bersama dengan orang-orang di sekitarnya, entah itu orang tua, saudara, keluarga tetangga dan lainnya sebab manusia adalah makhluq sosial. Salah satu yang ikut berada dalam lingkaran kehidupan seseorang dan menyertainya adalah sahabat yang biasanya diawali dengan persahabatan. Kata persahabatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bersahabat, dan sahabat cenderung disamakan dengan arti kata kawan atau teman (KBBI online), meski dalam ‘urf (kebiasaan) sebagian masyarakat di Nusantara membedakan antara teman dengan sahabat. Kesannya sahabat itu jauh lebih dekat dari sekedar teman.
Dalam hadis anggapan di atas tidaklah keliru, sebab dalam sumber tersebut ditemukan setidaknya tiga kata yang dapat diartikan sebagai sahabat yaitu zamîl, rafîq, dan shahâbah. Kata zamîl berarti teman dalam perjalanan yang membantu berbagai urusan kita, dalam konteks ini kata rafîq adalah sinonim dari kata zamîl (Ibn al-Atsir, II, 1979). Berpijak dari salah satu arti zamala (asal kata zamîl ) yaitu melantunkan syair (Ibrahim Anis, I, 1972) disini teman berfungsi sebagai penghibur dalam perjalanan atau bahkan menutupi kekurangan kita, yang diibaratkan sebagai selimut (renungkan QS: a-Muzzammil; 1). Asal kata rafîq yaitu rafaqa artinya orang yang lembut yang berada di samping seperti pasangan hidup (Ibrahim Anis I, 1972) disini teman berfungsi sebagai orang yang ikut memberikan semangat mencapai tujuan. Sementara kata shahâbah oleh Ibn al-Atsir memuat doa yang berisi penjagaan baik dalam perjalanan, kembali ke tempat asal dengan kemanan dan perjanjian yang berasal dari Allah swt (Ibn al-Atsir, II, III, 1979). Sahabat lebih umum penggunaannya pada kondisi apapun, baik secara fisik maupun non fisik, bahkan tidak disebut sahabat kecuali bagi mereka yang telah banyak menyertai seseorang (al-Isfihaniy, tth).
Sebuah persahabatan dinilai sejati (tulen, asli) dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, persahabatan berjalan apa adanya tanpa melihat materi atau kekayaan. Pemilihan sahabat bukan berdasarkan harta benda, sebab bila hal ini yang dipakai tentu kekekalan benda itu sangat relatif; mudah sirna. Dalam konteks ini, tepat sebuah ungkapan yang dinisbahkan kepada imam al-Syafi’iy (150-204 H):
إن قلّ مالي فلا خلّ يصاحيني # إن زاد مالي فكلّ الناس خلاني
Artinya: “bila berkurang hartaku, tidak ada sahabat yang bersahabat (dengan) ku # bila bartambah hartaku maka semua orang (menjadi) bersahabat dengan ku.
Kedua, persahabatan dengan orang yang membawa pada kebaikan. Bukan merupakan rahasia lagi kalau pergaulan dapat mempengaruhi seseorang, pengaruh tersebut dapat baik maupun buruk. Pijakan persahabatan dengan orang baik akan membuahkan hasil yang baik. Baik tidak hanya dalam konteks tertentu saja, tetapi baik dalam konteks apapun seperti pikiran, perhatian, spritualitas (termasuk agama), etika serta kepedulian kepada sesama dan sebagainya. Rasulullah suci saw mengibaratkan pergaulan dalam sebuah hadis, bila berteman dengan penjual minyak wangi paling tidak memperoleh baunya. Begitu pula, siapapun yang berteman dengan pandai besi paling tidak ia akan memperoleh bau yang tidak enak (al-Bukhari, III, 1995). Dalam konteks ini persahabatan dapat terjadi antara mereka yang memiliki ide, tujuan dan cita-cita yang sama, dianjurkan bersahabat dengan siapapun yang memiliki hal tersebut dalam hal-hal yang positif.
Ketiga, bagi kaum Muslim, persahabatan diukur tidak hanya di dunia saja namun persahabatan berkesinambungan sampai di alam akhirat, sebab itu persahabatan yang terjadi bertujuan tujuan hanya karena Allah swt. Seseorang bersahabat dengan orang lain hanya karena Allah swt, dan kalaupun ia harus berpisah maka perpisahan itu juga karena Allah yaitu keduanya dapat bertemu di suatu tempat dan mereka bersahabat untuk saling membantu dalam kebaikan dan di saat tertentu mereka terpisah karena keperluan masing-masing sementara mereka tetap saling mencintai karena Allah swt (al-Nawawi, vol VII, jilid IV, 2000). Dalam konteks ini, Rasul suci saw menyatakan:
ورجلان تحابا فى الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه
Artinya: “…dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah atas kecintaan (itu)…”
Kecintaan semacam ini adalah pokok persahabatan sejati yang dalam hadis tersebut (al-Bukhari, I, 1995) dinyatakan menjadi bagian dari tujuh kelompok orang yang akan memperoleh prioritas perlindungan Allah swt kelak di hari akhir.
wa Allâhu a’lam bi al-shawâb …