Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia bidang Riset dan Pengembangan Ilmu | Wakil Ketua bidang Pendidikan Agama dan Budaya Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah; email | jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Agaknya semua agama mengenal apa itu sedekah meski dalam sebutan yang berbeda-beda tetapi merujuk pada satu titik mengenai berbuat baik dengan cara mengeluarkan sebagian dari apa yang dimiliki seseorang untuk diberikan pada orang lain secara sukarela tanpa paksaan. Dalam Islam, sedekah didefinisikan secara berbeda, umumnya ulama menyebutkan secara terminologi sedekah adalah sebuah pemberian yang dengannya diharapkan memperoleh pahala dari Allah swt.
Perlu digaris bawahi bentuk sedekah itu beragam, namun umumnya lebih dikaitkan dengan pemberian materi dalam bentuk yang nyata tidak abstrak tetapi memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang imateri (ghaib). Dalam konteks ini al-Munawiy al-Syafi’iy (w. 1030/1 H) menukil pendapat ‘Ali al-Haraliy al-Malikiy (w. 637 H) menyebutkan sedekah yang bersifat perbuatan yaitu nampak dengannya (sedekah itu) kebenaran iman seseorang tentang hal yang ghaib bahwa rezeki itu adalah sesuatu yang ghaib (al-Ta‘arif), setidaknya berasal dari Yang Maha Ghaib. Dengan mengeluarkan sedekah menunjukkan pribadi orang itu meyakini akan keghaiban, baik asal muasal rezeki, maupun ganjaran yang akan diperolehnya di suatu tempat nanti bernama akhirat sebagai hal yang ghaib dari dunia sekarang.
Di masa pandemi bersedekah (bukan zakat) yang asal hukumnya sunnah kemungkinan dapat ‘meningkat’ menjadi fardhu kifayah bagi orang yang mampu di suatu komunitas, atau tempat tertentu untuk diberikan kepada mereka yang tak berpunya disebabkan situasi dan kondisi pandemi, meski tak harus dalam bentuk dan jumlah tertentu tetapi pemberian yang sedikit akan sangat berarti buat orang-orang yang kesulitan tersebut. Dalam QS:al-Baqarah; 274 difirmankan:
الذين ينفقون أموالهم بالليل والنهار سرا وعلانية فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Artinya: “yaitu orang-orang yang senatiasa menginfakkan hartanya di waktu malam dan siang hari, secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhanny. Maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak (pula) bersedih hati.”
Di antara hal menarik dalam ayat di atas yaitu penyebutan waktu dan cara saat memberi. Memberi sesuatu pada orang lain di waktu malam dan siang dengan cara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan diketahui oleh orang lain dalam ayat tersebut, dinilai oleh banyak ulama kalau pemberian di waktu malam dengan cara tersembunyi lebih utama. Imam al-Sajjad Ali Zainal al-‘Abidin ra (w. 93/4/6/8 H) ditemukan tanda di bahunya di akhir hayatnya lantaran ia selalu berkeliling di malam hari dengan memikul bahan makanan (sembako) lalu dibagikan kepada mereka yang membutuhkan (Tarikh Dimasyq) untuk mempraktekkan shadaqah sirriyyah yang di dalam hadis disebut sebagai penolak dari kemarahan Allah swt (HR al-Turmudziy dari sahabat Anas ra). Hal yang sama diriwayatkan dipraktikkan ulang oleh syeikh Abu Bakar bin Salim (w. 992 H) salah satu turunannya di kota ‘Inat di Hadramaut Yaman.
Dalam prakteknya terkait waktu dan cara memberi dapat bertukar, misalnya memberi di waktu malam secara terang-terangan dan memberi di waktu siang secara sembunyi-sembunyi. Dalam konteks tertentu, bersedekah secara terang-terangan tetap dibutuhkan untuk meningkatkan daya semangat orang lain lainnya agar mau ikut bersedekah.
Hal yang sangat menarik dalam kondisi pandemi adalah pola bersedekah yang dilakukan oleh mereka yang berbaik hati dengan melipat gandakan bayaran kepada penjual, harga awal yang seharusnya lima ribu dari penjual ternyata dibayar oleh pembeli dengan harga tiga ratus ribu rupiah sebagaimana yang telah beredar di media sosial. Bagi penulis tindakan mulia tersebut adalah mempraktikkan kombinasi pola shadaqah sirriyyah (tersembunyi) dan jahriyyah (terang) secara bersama-sama sekaligus merupakan bagian dari living al-Qur’an dengan menjadikan ayat itu ‘hidup’ dengan gaya dan caranya yang khusus di masa pandemi.
Dinyatakan praktik tersebut adalah pola kombinasi sebab pemberi sedekah itu meski mengunggah salah satu bentuk filantropi mereka agar ditonton banyak orang; terang-terangan (jahriyyah) di media sosial, namun tak sedikit dari mereka juga tak mau memperlihatkan wajah dan siapa mereka sebenarnya. Inilah yang dikategorikan sebagai shadaqah siriyyah tersebut, meski penjual mungkin dapat mengenali si pembeli tetapi masyarakat umum tak dapat mengenali mereka. Apa yang dilakukan oleh pembeli itu menjelaskan dua aspek; pertama, ia tetap berharap pahala dari Allah swt sebagaimana pahala shadaqah sirriyyah yang dinilai paling utama; kedua, apa yang ia lakukan di media sosial (jahriyyah; terang-terangan) untuk memancing kepada siapapun yang punya kelebihan agar bersegera melakukan sedekah sesuai kemampuannya.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi foto : kepripedia.com