Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU dan Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Guru yaitu orang yang pekerjaannya mengajar (KBBI online). Di Indonesia kata yang dipakai untuk seorang guru agama biasanya disebut dengan ustad; أستاذ. Penggunaan kata tersebut adalah bentuk penghormatan dari masyarakat kepada guru agama yang ada di negara ini. Hal ini terlihat saat kata tersebut juga diperuntukkan bagi siapapun yang mengajar di taman pendidikan al-Qur’an (TPQ). Padahal kata tersebut secara bahasa dan historis disemayatkan pada mereka yang telah berilmu tinggi, sebab kata ustad semakna dengan teacher atau bahkan profesor dalam bahasa Inggris (Hans Wehr). Tradisi Islam mengabadikan beberapa ulama terkenal dengan sebutan ustad, sebagai orang yang alim di bidang tertentu, salah satunya yaitu Abu Utsman Ismail bin Abd Rahman al-Shabuniy (w. 449 H) seorang ulama hadis terkenal yang namanya menjadi pembuka sanad di beberapa bagian dalam shahih Ibn Khuzaimah adalah murid dari Abu Thahir (w. 387 H) sebagai cucu dari Ibn Khuzaimah (w. 311 H) dari Naisabur.
Hari guru dirayakan setiap tahun pada tanggal 25 Nopember berdasarkan Kepres nomor 78 tahun 1994. Dalam perjalanan sejak orde Baru ke orde Reformasi agaknya harapan guru di Indonesia secara umum semakin cerah tidak lagi seperti ilustrasi bang Iwan Fals dalam liriknya Oemar Bakrie. Bahkan pekerjaan guru di masa kini menjadi bagian yang favorit saat anak bangsa mendaftarkan diri untuk menjadi abdi negara di sekolah maupun perguruan tinggi, bahkan guru non ASN (honorer ?) sekarang dapat dikatakan cukup sejahtera dengan adanya sertifikasi guru.
Dalam konteks hari guru, agaknya perlu dicermati tentang profesionalitas guru dan pekerjaannya yang ikut berperan mencerdaskan kehidupan anak bangsa dengan aspek ekonomi, keilmuan dan akhlaq guru. Antara kedua hal yang disebut pertama memiliki keterkaitan secara langsung, sementara akhlaq juga memiliki keterkaitan meski tidak secara langsung dengan ekonomi. Ekonomi yang cukup akan mengantarkan seorang guru lebih fokus kepada penambahan, pengembangan dan aktualisasi ilmunya. Dalam sejarah klasik Islam, Imam al-Husain ra (w. 61 H) akan membayar siapapun yang mengajari al-Qur’an pada anaknya. Dalam hal ini, ulama secara mayoritas membolehkan menerima upah disebabkan mengajar al-Qur’an berdasarkan hadis shahih. Aspek ekonomi ini akan mendukung keilmuan guru.
Selain itu, adanya program beasiswa melanjutkan kuliah, workshop, studi perbandingan, menjadi pengawas, menjadi asesor adalah aneka jalan pengembangan ilmu, dan tentunya keterpilihan mereka harus berdasarkan keilmuan untuk menjadikan guru tetap profesional di bidangnya, dan bukan disebabkan faktor-faktor lainnya.
Sementara akhlaq adalah realisasi nyata dari ilmu yang guru peroleh untuk menjadi contoh dan teladan yang diiikuti, digugu dan ditiru. Dalam dunia pendidikan Indonesia, penanaman akhlaq menjadi hal yang sangat utama sebagai standar untuk menciptakan anak didik sebagai penerus bangsa. Terkait dengan konteks inilah apa yang dikenal dengan semboyan Ki Hajar Dewantara (w. 1959 M) yaitu Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangkun Karsa, Tut Wuri Handayani bahwa guru saat berada di depan sebagai teladan, saat di tengah sebagai pencetus ide dan saat berada di belakang selalu mendorong murid agar tetap semangat dan kreatif, merupakan sebuah formulasi antara kecerdasan spiritual sebagai teladan, kecerdasan intelektual sebagai pencetus ide dan kecerdasan emosional sebagai pendorong, ibarat sebagai orang tua untuk senantiasa memberi semangat pada anaknya sendiri.
Konon di dunia ini hanya ada 2 manusia yang menginginkan orang lain lebih dari dirinya sendiri, meski secara umum -dan itu lumrah-, orang pasti ingin dirinya lebih dari orang lain. Namun kedua orang tersebut tidak demikian, mereka adalah orang tua dan guru. Keduanya pasti mengingingkan anak/muridnya lebih dari diri mereka. Oleh sebab itu, guru dapat dinilai sukses jika muridnya dapat melampaui gurunya, dan akan sangat aneh di masa kini bila guru merasa tersaingi oleh muridnya lantaran kelebihan muridnya. Bukankah murid tersebut menjadi cerdas sebab bimbingan guru ? di sini obyektifitas keilmuan tetap ditonjolkan tanpa menghilangkan aspek akhlaq murid kepada gurunya. Hal yang telah dicontohkan oleh al-Syafi’iy (w. 204 H) kepada gurunya Imam Malik (w. 179 H), Waki‘ ibn al-Jarrah (w. 197/8 H), bahkan muridnya al-Rabi‘ (w. 270 H) kepada al-Syafi ‘iy sendiri. Begitu juga Ibn Hajar (w. 852 H) terhadap gurunya Zainuddin; Abd Rahim al-Iraqiy (w. 806 H).
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
gambar: Logo Hari Guru Nasional 2021 (Kemendikbud Ristek)