Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU dan Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo Jawa Tengah | email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Ibu adalah panggilan populer dan mengindonesia untuk perempuan terhormat yang dinilai sebagai orang tua; dituakan. Tak heran bang Iwan Fals memiliki tidak kurang dari tiga lagu tentang ibu; dua di antaranya berisi kasih sayang Ibu tak terbatas sekaligus kebaya merah ibu sebagai tradisi nusantara dan satu lagu berisi kata maaf anak kepada ibunya setelah tidak berhasil mencari pekerjaan yang layak. Selain kata ibu, di Indonesia juga dikenal dengan panggilan mama dan lainnya. Dilihat dari definisi, agaknya panggilan mama dan lainnya -tanpa mengkerdilkan penggilan tersebut- lebih mengarah pada perempuan sebagai orang tua dari anak-anaknya. Sementara ibu, selain diperuntukkan bagi perempuan yang telah melahirkan; telah bersuami juga diperuntukkan sebagai panggilan hormat baik pada mereka yang sudah maupun belum bersuami (KBBI online). Saking luasnya, kata ibu juga digunakan secara metaforis untuk semua yang menjadi sumber dari sesuatu seperti ibu kota, ibu pertiwi dan sebagainya.
Ibu secara makna lebih mendalam, sebab selain pada mereka yang memiliki garis geneologis dengan anaknya juga diperuntukkan bagi mereka yang memiliki limpahan kasih sayang yang tak terhingga, bahkan ibu adalah madrasah atau sumber/asal dari sesuatu dalam arti KBBI ini semakna dengan kata umm (أمّ) adalah induk dari sesuatu. Dari ibulah (baca umm) lahirlah pemimpin (imam) lalu terbentuklah masyarakat (ummah; nation, generation Hans Wehr)
Hari ibu kali ini termasuk cukup spesial disebabkan berdekatan dengan hari lahirnya nabi ‘Isa asw (‘alaihi al-shalatu wa al-salam) menurut keyakinan mayoritas umat Kritstiani. Dalam konteks keduanya setidaknya terdapat dua hal utama yang dapat dipetik pelajaran dan hikmahnya.
Pertama, ibu kandung. al-Masih putera dari perempuan yang suci dan disucikan Allah swt (QS:Ali ‘Imran; 42) adalah contoh teladan dalam al-Qur’an bagaimana ia melimpahkan segala kasih sayangnya pada puteranya, meski Siti Maryam as harus menanggung malu yang mendalam disebabkan fitnah keji dari pemuka agama saat itu kepadanya, hanya karena ia melahirkan Nabi ‘Isa al-Masih asw tanpa suami. Padahal bagi setiap Muslim, terlahirnya al-Masih putera Maryam meski tanpa ayah merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah swt (QS: Maryam; 16-21, 30-33).
Terdapat setidaknya dua pelajaran dari profil siti Maryam as: (1) setiap ibu kandung pada dasarnya memiliki kasih sayang berlimpah yang tak terhingga pada anaknya meski mereka harus menanggung aneka kepedihan. Mereka tidak pernah merasa malu dengan anak yang mereka kandung -tentu dengan proses, cara dan hukum yang benar-. (2) tidak semua ibu kandung memiliki kasih sayang pada anaknya.
Peristiwa yang terjadi pada isteri Nabi Luth as; konon bernama Wa‘ilah, justeru ikut mensponsori praktek kaum Sadum yang melanggar fitrah penciptaan (hubungan sejenis) dengan cara menunjukkan kepada kaumnya terhadap tamu-tamu ganteng (malaikat) yang berkunjung kepada Nabi Luth (Tafsir Jalalain saat menafsirkan QS: al-Tahrim; 10). Sementara suaminya berusaha menyelamatkan anak puteri mereka dan semua kaumnya (lihat tafsiran QS:Hud; 78).
Dalam konteks isteri Nabi Luth as tersebut, baik sebagai ibu dari suatu umat terlebih lagi sebagai ibu dari puterinya sendiri, ia tidak memiliki perasaan kasih sayang pada anak-anaknya itu. Sebab dengan ikut membantu kaum lelaki Sadum melanggar fitrah dimaksud, tentu secara tidak langsung akan berakibat perempuan tidak mendapat pasangan hidup dan bahkan bisa mengarah pada hal yang jauh lebih negatif.
Kedua, bukan ibu kandung. Di luar sana terdapat banyak ibu yang dapat dan bahkan mampu menyayangi anak yang bukan anak yang ia kandung. Dalam konteks ini menarik diperhatikan sabda Nabi Muhammad suci saw:
…والمرأة راعية على بيت بعلها وولده …
Artinya: …” dan perempuan adalah pemimpin atas (dalam) rumah suaminya dan anaknya (anak dari suaminya)”…
Melalui kata وولده mengisyaratkan kemampuan seorang perempuan mengasihi dan menjadi ibu dari anak suaminya; meski bukan anak dari perempuan ini.
Salah satu contoh dalam sejarah Islam awal, yaitu Fatimah binti Asad bin Hasyim -wafat setelah hijrah dalam riwayat yang shahih (w. ± 4 H) menurut Ibn al-Atsir (w. 630 H) yang dikuatkan oleh Ibn Hajar (w. 852 H)- adalah isteri Abu Thalib yang ikut terlibat dalam mendidik, menyayangi, mengayomi Nabi suci saw meski bukan anak kandungnya. Fatimah ini dipanggil ibu lantaran kasih sayangnya kepada Nabi suci saw. Saat wafat di Madinah, Nabi suci saw mengkafani Fatimah binti Asad dengan bajunya, menshalatkan, menguburkan serta perilaku istimewa lainnya dilakukan untuk ibunya seperti dalam riwayat al-Thabaraniy (w. 360 H) Abu Nu’aim (w. 430 H), al-Hakim (w. 405 H) dan lainnya.
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
Ilustrasi: Foto NN