Penulis: Dr. Ja’far Assagaf, MA
Dosen UIN SUKA Yogyakarta | Sekretaris Umum Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia | Wakil Katib Syuriah PCNU dan Wakil Ketua Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia-Sukoharjo – Jawa Tengah | email : jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Kata iri bukanlah sesuatu yang asing buat umat manusia sebab bagian dari penyakit hati tersebut telah ikut menampakkan akibatnya dalam sejarah peradaban mereka melalui perkelahian, pembunuhan; secara tersembunyi maupun terang-terangan, peperangan dan lainnya. Meski tidak semua iri adalah dosa, ghibtah (غبطة) misalnya -seperti dalam riwayat al-Bukhari dari Ibn Umar- dinilai baik bahkan dianjurkan, tetapi secara umum kata iri adalah negatif. Bahkan sifat ini berdampak luar biasa bagi hubungan antara pribadi maupun golongan (baca: agama, suku, ras dan lainnya) di masyarakat.
Kata iri dalam konteks umum disebut hasud (حسود) dari حسد (hasada) yang cenderung diartikan sama dengan dengki yaitu حقد (hiqd). Kata حسد (iri) bermakna seseorang mengingingkan nikmat yang ada pada orang lain (saudaranya) hilang, dan nikmat itu berpindah kepada dia menurut Ibn al-Atsir (w. 606 H). Sementara حقد (dengki) menurut Ibn Manzhur al-Ifriqiy (w. 711 H) adalah menahan permusuhan dalam hati dan menunggu kesempatannya, yaitu menanti bila ada kesempatan maka dendam ditumpahkan. Baik iri maupun dengki dalam KBBI semakna dengan pengertian hasad maupun hiqd.
Selain kedua kata di atas, dalam kajian hadis terdapat kata lain yang memuat arti iri dan dengki, misalnya kata سخيمة (sakhimah) riwayat Abu Daud (w. 275 H) dari Ibn ‘Abbas (w. 68 H), kata ذو غمر (dzu ghimr) dalam Ibn Majah (w. 273 H) dari Ibn ‘Amr (w. 65 H), kata وحر الصدر dalam al-Turmudziy dari Abu Hurairah (w. 58/59 H), serta beberapa lainnya.
Baik kata iri (hasad) maupun dengki (hiqd) meski terdapat perbedaan makna, tetapi keduanya saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Dilihat dari makna di atas, iri merupakan asal kejahatan dalam diri seseorang pada orang lain meski itu hanya berada dalam pikiran atau ide lantaran kenikmatan yang tidak ia peroleh, sementara dengki telah menyebar dalam bentuk usaha, tindakan seseorang untuk menghilangkan nikmat itu dari orang lain.
Iri akan berimplikasi kepada niat dan rencana buruk/jahat yang akan disusun secara rapi, terstruktur. Al-Qur’an sebenarnya telah mencontohkan ini dalam peristiwa penciptaan Nabi Adam as yang akan dijadikan khalifah di muka bumi, lalu diprotes oleh Iblis dengan alasan bahwa ia lebih baik dari manusia (lihat misalnya QS: al-Baqarah; 31, 34; al-A‘raf;11-13; al-Hijr; 28-34).
Secara tersurat keberatan Iblis karena merasa lebih baik dari Adam as lantaran ia berasal dari api dan manusia pertama tersebut -menurut agama Abrahamik; Islam, Kristen dan Yahudi- berasal dari tanah. Alasan Iblis dinilai sombong dalam al-Qur’an. Namun secara tersirat, sebenarnya kesombongannya muncul lantaran sikap iri Iblis. Kenapa bukan dia yang dijadikan dan dipilih sama Allah swt sebagai khalifah ? kenapa harus Nabi Adam as, sementara ia lebih mulia dari aspek penciptaan dan lebih berkualitas dari aspek ibadah dalam beberapa riwayat.
Sikap iri Iblis tersebut ternyata tidak berhenti, ia lalu dengki dan menunggu kesempatan untuk menggoda Nabi Adam as serta menyesatkan turunannya seperti terbaca dalam QS: al-A‘raf; 14-20; al-Hijr; 35-43. Iblis yang iri menjadi dengki lalu berencana buru, terstruktur untuk mencelakai manusia. Korban pertama yang mewarisi sifat iri Iblis adalah Qabil yang membunuh saudaranya Habil lantaran iri terhadap pilihan jodoh dari ayah mereka berdua.
Iri hati yang berimplikasi pada rencana buruk terstruktur dapat disebabkan banyak hal. Wajah rupawan, harta, ilmu, tahta, etnis, wilayah dan sebagainya dapat menjadikan hal-hal tersebut sebagai sarana iri dan dengki bercokol dalam diri seseorang. Terkadang segala hujjah/argumentasi dari orang yang iri sebenarnya bukan itu yang dimaksud, seperti Iblis beralasan kualitas penciptaan dirinya yang dalam konteks sekarang dapat berupa kualitas ilmu, titel, jabatan, ras, dan lainnya akan menjadi alasan bagi seseorang untuk mencegah orang lain yang dinilai tidak memiliki kualitas itu sehingga layak memperoleh nikmat tertentu. Padahal sebuah nikmat tidak lepas dari apa yang disebut takdir selain dari usaha yang dilakukan.
Sebaliknya, orang dapat menjadi iri justeru karena ia tidak memiliki kualitas di atas. Dan sebab itulah ia berkata, berbuat dan bertindak narsis, rasis, meski ada juga secara rahasia sebagai ‘cara gelap’ kalau sebenarnya dia telah merealisasikan iri melalui dengki. Bila akhir ayat dalam sebuah surat al-Qur’an dinilai sebagai kuncinya -seperti salah satu pendapat mufassir– maka kunci QS: al-Falaq; terletak pada ayat 5 yaitu berlindung pada Allah swt dari kejahatan orang yang iri bila ia berusaha mengimplikasikan sifat irinya dalam perbuatan. Sebab ayat 2-4 merujuk pada benda/alat, waktu serta metode, sementara orang yang iri (ayat 5) adalah ‘pengendali’ yang menjalankan, menggunakan semua hal itu guna melancarkan rencana buruknya yang terstruktur.
Dalam sejarah awal Islam, implikasi sifat iri dan dengki terlihat dari keburukan terstruktur dipraktekkan oleh penguasa bani Umayyah terhadap Ali kw dan pengikutnya. Berupa pencelaan di atas mimbar masjid, penganiayaan sampai pembunuhan seperti diinformasikan Ibn al-Atsir II (w. 630 H) dan al-Zahabiy (w. 748 H).
Begitu buruknya dampak dari iri, jangankan perbuatan, mata/pandangan (atau jiwa sebab mata dapat mengilustrasikan isi jiwa) dari orang yang iri pun, kita diajarkan agar berlindung darinya seperti riwayat Muslim dari sahabat Abu Sa‘id al-Khudriy (w. 74 H):
… من شر كل نفس أو عين حاسد …
artinya:“… (berlindung kepada Allah swt) dari keburukan setiap jiwa atau mata orang yang iri …”
wa Allâhu a‘lam bi al-shawâb …
ilustrasi foto: sohbet.id