Penulis: Abdurrachman Baksir
Pengurus KOMDA Alkhairaat Ternate, Bidang Pendidikan | Dosen UNKHAIR Ternate
Ela-ela adalah sebuah tradisi Ramadan di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, dalam menyambut turunnya malam Lailatul-qadar, yang biasanya dilaksanakan pada malam 27 Ramadhan dengan cara membakar obor atau lampion di depan rumah warga. Tradisi ela-ela dengan cara membakar obor dan lampion itu merupakan simbol kegembiraan masyarakat atas turunnya Lailatul-qadar serta mengharapkan setiap warga di daerah ini bisa mendapatkan keberkahan Lailatul-qadar.
Ela-ela dalam bahasa setempat berarti obor. Hampir di setiap rumah warga di masing-masing kelurahan, terdapat ela-ela. Masing-masing rumah menyediakan tiga sampai empat ela-ela, baik yang terbuat dari bambu ataupun botol bekas minuman. Ela-ela yang disiapkan warga ini untuk dinyalakan usai salat Tarawih. Seluruh warga di Ternate memasang obor di halaman rumah sampai pagi, ada pula warga yang sekaligus membakar damar sehingga hampir seluruh wilayah Ternate tercium aroma harum bau damar, yang umumnya merupakan damar kualitas terbaik dari wilayah Halmahera. (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Menjelang Idul Fitri, perayaan budaya dan tradisi di galakan umat Islam di Indonesia dalam menjaga kearifan lokal. Begitu juga dengan Maluku Utara, negeri para raja (jazirah Al -Mulk). Dalam memperingati malam Lailatur Qadar, salah satu tradisi paling melekat dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara adalah “Malam Ela-ela”. Tradisi turun temurun ini dilakukan oleh warga dengan menyalakan lampu-lampu baik obor dan loga-loga (lampion) di pekarangan rumah. Untuk masyarakat Kota Ternate, Maluku Utara pasti sudah tidak asing lagi dengan tradisi saat bulan Ramadan. Tradisi Ela-ela untuk menyambut malam lailatul-qadar di Maluku Utara ini cukup unik. Mengapa begitu?
Umat Islam di Ternate sejak ratusan tahun silam memiliki tradisi dalam setiap menyambut malam Lailatul-qadar yang disebut Ela-ela. Tradisi malam Ela-ela atau ritual menyambut malam lailatul-qadar di Ternate biasanya dilakukan pada 10 hari terakhir puasa atau 27 Ramadhan, sebagai wujud kebersamaan dalam melestarikan ritual malam lailatul-qadar. Tradisi tesebut tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Ternate. Di mana, hampir setiap rumah, lingkungan, atau masjid, melaksanakan ritual tersebut.
Mereka gunakan batang pohon pisang sebagai medianya, kemudian getah pohon agatis (damar), poci (palita), obor yang terbuat dari bulu (bambu) dan diisi minyak tanah, itu semua mengandung arti nur atau cahaya. Masyarakat adat memeriahkan malam ela-ela sebagai suatu penghormatan terhadap malam lailatul-qadar.
Ritual ini dimulai dari Kedaton Kesultanan Ternate usai salat Magrib. Jou Kalem (imam masjid) Kesultanan Ternate, membacakan tamsil yang disenandungkan seirama dengan dalil tifa.
Diketahui, tamsil dalam sastra lisan Ternate berisi nasehat dan petunjuk yang mengandung unsur keagamaan, sebagai peringatan kepada pemeluknya agar benar-benar mempelajari ilmu agama dan mengamalkannya.
Disisi lain orang-orang berdatangan dan turut menyaksikan proses Ela-ela, obor-obor dinyalakan mulai dari gerbang hingga halaman kedaton. Beberapa anak muda berpakaian adat berbaris rapi tepat di bawah tangga untuk menyambut para perangkat kesultanan. Setelah perangkat kesultanan turun di halaman kedaton, proses pembakaran obor Ela-ela pun dilakukan secara simbolis oleh pejabat Kota Ternate atau perangkat kesultanan yang ditunjuk, Setelah membakar obor, tampak sejumlah imam dan perangkatnya dari Sigi Lamo atau Masjid Besar Kesultanan Ternate mendatangi kedaton mengikuti beberapa proses lagi, kemudian mengambil lilin dan kembali ke masjid untuk salat isya dan tarawih diiringi ritual pemukulan gamelan dan gong yang dikenal dengan nama Cika Momo.
Perayaan malam-malam Ela-ela oleh masyarakat di masing-masing rumah menyediakan tiga sampai empat ela-ela, baik yang terbuat dari bambu ataupun botol bekas. Ela-ela yang disiapkan oleh warga setempat akan dinyalakan setelah salat tarawih. Seluruh warga memasang obor sampai pagi di halaman rumahnya masing-masing.
Selain memasang obor, para warga juga melakukan pembakaran damar. Hal tersebut dilakukan oleh warga setempat agar menciptakan aroma mewangian. dengan cara membakar obor dan lampion sebagai simbol kegembiraan masyarakat atas turunnya lailatul-qadar. Obor sebagai simbol menerangi bahwa pada malam ini akan mendapatkan keberkahan dari Allah swt. “Maka untuk menerangi bumi ini dibakarlah obor atau Ela-ela sebagai tanda kita menyambut alam ini dengan cahaya-cahaya dimana cahaya itu melambangkan ilmu pengetahuan, dan bagaimana negeri ini mendapatkan keberkahan dari Allah SWT,” Wallah a’lam bissawaab