Penulis : ZindaRud
Sejak awal abad ke-19, telah muncul gejala proses perluasan kekuasaan maritim kolonial di satu pihak, dan kemunduran kekuasaan bahari pribumi di pihak lain. Menjelang akhir abad ke-19, ekspansi kolonial untuk menguasai perairan kerajaan pribumi, boleh dikatakan telah berhasil. Namun demikian adalah suatu kesimpulan yang sangat tergesa-gesa jika dikatakan bahwa penguasa laut oleh kapal-kapal Belanda adalah hal yang mutlak dan tidak ada lagi ruang-ruang bagi pelayaran pribumi untuk bergerak.
Fenomena “bajak laut” dalam abad ke-18 hingga abad ke-19 menunjukan bahwa penguasaan atas kawasan perairan di Indonesia Timur oleh kolonial Belanda belumlah mencapai tingkat yang efektif. Keinginan untuk mengamankan wilayah yang digunakan untuk perdagangan maritim oleh Belanda merupakan motif utama dari serangkaian kebijakan yang ditempuh untuk memberantas apa yang disebut-sebut dengan istilah “bajak laut” tersebut.
Apabila kita memperhatikan peta Maluku Utara, maka yang sangat menonjol adalah kawasan lautnya – yang mana kenyataanya telah mempersatukan seluruh wilayah tersebut. Dalam hubungan ini, laut Maluku, laut Halmahera, laut Banda, dan laut Seram memainkan peranan yang sentral. Kawasan ini terbagi dalam dua satuan yang besar, yakni bagian maritim dan bagian kontinental. Khusus pada bagian pertama, unsur laut memegang peranan utama, sedangkan untuk bagian kedua, hubungan dengan laut dilakukan melalui sungai Ake Lamo dan sungai Tuguis di Halmahera, sungai Amasing di Bacan, serta sungai-sungai kecil lainnya.
Kawasan laut sebagai unit kajian sejarah memberi kepada kita peluang-peluang baru untuk mempelajari sejarah Nusantara sebagai kesatuan yang hingga kini cenderung terbatas pada pembahasan sejarah Negara demi Negara, dan dalam hal sejarah kepulauan Maluku Utara, pembahasan sejarah pulau demi pulau bisa diganti dengan penelaahan sejarah “unit-unit bahari” (sea systems).
Adapun satuan-satuan bahari ini beraneka ragam bentuk dari yang kecil, seperti, pertama Teluk Kao yang diapit oleh jazirah Utara dan Timur Laut. kedua, Teluk Buli antara jazirah Tenggara dan Timur Laut dan yang ketiga, Teluk Weda yang terletak di jazirah Tenggara dan Selatan sampai yang amat luas (seperti Laut Maluku, Laut Banda dan Laut Sulawesi). Begitu juga tentang areal atau lokasi yang sudah barang tentu akan mempengaruhi besar-kecil peranannya dalam sejarah, karena tentu ada perbedaan peran antara Teluk Pediwang dan Teluk Tomini (Gorontalo), misalnya. Dan peran inipun bisa berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Umpamanya, Selat Malaka yang merupakan penghubung antara perairan Asia Selatan dan Asia Timur sangat strategis dalam perkembangan sejarah pelayaran dan perdagangan masa lampau, namun sejak abad ke -16, ketika petualangan-petualangan dari Eropa menemukan jalan pelayaran melalui Afrika Selatan, maka sebagian dari volume pelayaran dialihkan pada waktu itu ke Selat Sunda, tetapi dengan terbukannya Terusan Suez di paruh kedua abad ke-19, maka Selat Malaka pun kembali pulih sebagai jalur pelayaran utama.
Seperti digambarkan di atas, pendekatan sistemik menurut satuan baharinya membebaskan kita dari pembahasan sejarah pulau demi pulau. Hal ini sangatlah jelas bagi pulau seperti Halmahera yang memiliki empat semenanjung yang terpisah oleh teluk yang agak besar. Adalah lebih baik apabila kita mempelajari sejarah pulau ini menurut satuan-satuan teluk itu, sedangkan Pantai Baratnya merupakan satuan bersama dengan Pantai Timur Ternate yang dipersatukan oleh sebuah selat kecil diantaranya.
Kisah sejarahnya pun hendaknya berorientasi pada masalah maritim yang bisa dimulai, misalnya, dengan wilayah Nusa Utara sebagai daerah lintasan pelayaran dan perdagangan antara poros Sulu-Ternate pada abad ke-15 dan ke-16, atau pada aktivitas orang “Tobelo” diperairan Banggai-Tobungku-Flores, yang kemudian melekat sejumlah nama pelaut Tobelo yang legendaris, seperti Robodoi, Surani, Palili, dan Laba pada penduduk wilayah tersebut. Di saat itulah medan sejarah maritim Nusantara berpusat di Maluku Utara, dimana ketika itu perairan Maluku menjadi kancah pertarungan antara kekuatan dari Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda) dengan melawan kekuatan bahari Nusantara.
Akan tetapi kisah sejarah tidak harus berkisar pada soal pertaruhan kekuatan politik belaka. Misalnya, cerita bisa berawal dari Teluk Ake Sibu sebagai pusat perniagaan Cengkih-Pala di pulau Ternate, dan dalam hal ini pelayaran Said Jafar Shadiq yang tiba di Ternate (Gapi nama saat itu) walaupun sekarang lebih banyak diselubungi dengan cerita mitos, bisa memberi petunjuk tentang jangkauan kegiatan dari armada maritim Maluku Utara yang sudah terkenal itu (Kora-kora, Juanga, Kagunga, Giup, Rurehe, Pakataa, Kole-kole, Julu-Julu dan Lepa-lepa).
Penemuan keramik Cina, Kamboja, Vietnam, dan lain-lain, di pulau Ternate-Tidore-Bacan dan Halmahera pada abad ke-12 dan sesudahnya, merupakan bukti kuat tentang ramainya arus perniagaan yang sekaligus merupakan bagian dari apa yang dikenal sebagai Jalur Sutra. Pada abad ke-16 dan ke-17 kegiatan perniagaan ini mencapai masa puncaknya, sehingga pelaut-pelaut Ternate-Tidore (dan Tobelo-Halmahera) mulai berperan serta dalam kehidupan politik di berbagai perairan nusantara, antara lain : Laut Sulawesi, kepulauan Banggai-Tombuku, Teluk Ambon, Laut Seram, Laut Flores dan di Kepulauan Raja Ampat.
Jelaslah, bahwa yang dapat memainkan peranan penting dalam sejarah bahari ini hanyalah penduduk Nusantara yang telah menerima dan mengembangkan suatu kebudayaan maritim yang maju, sedangkan bagi penduduk pesisir yang tidak memperdulikan laut hanya akan menjadi penonton belaka dan pada akhirnya menjadi korban dari kekuatan-kekuatan maritim besar dari luar.
ilustrasi foto : Peta berjudul Insulæ Indiæ Orientalis karya kartografer Jodocus Hondius terbit pada 1606 (National Geographic Indonesia//https://nationalgeographic.grid.id/read/131696973/kartografi-dunia-berutang-kepada-rempah-maluku?page=all)