Oleh: Dr. Ja ‘far Assagaf, MA.
Tulisan ini adalah lanjutan dari e-book Konektivitas Rijal al-Hadis (dipublish oleh alkahiraat-ternate.or.id, 21-04-2023) dan artikel berjudul Terdeteksi al-Sakran? (27-04-2023). Sebelum melihat Narasi al-Janadi tentang Ba‘alwi dalam al-Suluk fi Thabaqah al-‘Ulama wa al-Muluk maka diperlukan setidaknya tiga pertanyaan, jawaban dan konklusi yang terkait dengan dua tulisan tersebut.
Soal I: ada berapa kitab yang diberi nama dengan al-Jauhar al-Syafaf?
Jawaban I: setidaknya ada lima kitab dengan judul al-Jauhar al-Syafaf yaitu:
Pertama, karya Abdullah bin al-Hadi al-Zaidi al-Yamani (w. ± 810 H) al-Jauhar al-Syafaf al-Multaqith min Mughashat al-Kasyyaf dikonfirmasi oleh Kahhalah dengan Mukhtashar al-Kasyyaf tanpa judul lengkap (Kahhalah, VI, 161) judul lengkapnya disebut dalam Khazanah al-Turats Fihris Makhthuthat. Naskahnya di Markaz Malik Faishal di Riyadh, nomor penyimpanan 3280-3286 (Khazanah al-Turats Fihris Makhthuthat, 89, h. 582 di al-Maktabah al-Syamilah). Berarti karya ini terkait tafsir.
Kedua, karya Abd Rahman bin Muhammad bin al-Khatib al-Hadrami (w. 855 H) berjudul al-Jauhar al-Syafaf fi Karamat al-Sadah al-Asyraf dalam bentuk manuskrip telah terkonfirmasi oleh Ismail Basya al-Baqdadi (w. 1920 M) dan Umar Ridha Kahhalah (w. 1987 M) dengan judul lengkap (lihat: al-Bagdadi, I, 526; Kahhalah, V, 178). Manuskrip tersebut ada di Ma‘had Makhthuthat al-‘Arabiyah di Kuwait. Nomor penyimpanan 1212, Maktabah al-Ahqaf (lihat Khazanah al-Turats Fihris Makhthuthat, 76, h. 124 di al-Maktabah al-Syamilah). Manuskrip tersebut telah dijadikan penelitian oleh Muhammad Yuslim Abd al-Nur berjudul Manhaj al-Khatib al-Tarimiy wa Maddatuhu al-Tarikhiyyah fi Kitabihi al-Jauhar al-Syafaf. Hadramaut: Tarim li al-Dirasah wa al-Nasyar, 2014 (halaman 1-240).
Ketiga, karya Ali bin Abdullah al-Samhudi (w. 911 H) berjudul al-Jauhar al-Syayaf fi Fadhail al-Asyraf disebut dalam Khazanah al-Turats Fihris Makhthuthat. Naskahnya di Maktabah al-Haram al-Makki di Mekkah no penyimpanan 39 (Khazanah al-Turats Fihris Makhthuthat, 55, h. 704 di al-Maktabah al-Syamilah)
Keempat, karya Ahmad bin Muhammad al-Khalidi al-Yamani (w. 880 H) berjudul al-Jauhar al-Syayaf fi al-Manthiq disebut oleh Muhammad Zabarah al-Hasani (w. 1381 H) dalam al-Mulhaq al-Tabi‘ li al-Badr al-Thali‘ diterbitkan oleh Dar al-Ma‘rifah kota Bairut tanpa tahun, di juz II, h. 43. Karya ini terkait ilmu manthiq
Kelima, karya Arif Ahmad Abd Ghani (penulis masa kini) berjudul al-Jauhar al-Syafaf fi Ansab al-Sadah al-Asyraf. Jilid I-II, diterbitkan oleh Dar Kinan kota Damaskus dengan tahun 1997 dari Wizarah A‘lam fi al-Jumhuriyah al-‘Arabiyah al-Suriah.
Dengan demikian kitab al-Jauhar al-Syafaf terkait biografi tokoh ada tiga, yaitu nomor 2, 3 dan 5.
Konklusi I: tidak jarang beberapa ulama memiliki karya kitab dengan nama yang sama, misalnya Fath al-Bari terkait Syarh al-Hadis adalah karya Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dan juga karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Jadi al-Jauhar al-Syafaf karya al-Khatib al-Hadhrami al-Tarimi terkonfirmasi. Bahkan misalnya data poin dua dihapus (tentunya dengan data dan argumentasi) maka kiranya cukup saat karya al-Khatib ini disebut berulang kali oleh Bamakhramah (870-947 H) dalam karyanya Qiladah al-Nahar fi Wafayat A‘yan al-Dahar. Juz I-VI. Jeddah: Dar al-Minhaj, 2008. Penting, karya ini (Bamakhramah) diberi perhatian; notasi dan termasuk naskah, rujukan sumber yang ada dalam naskah itu oleh بو/Bu Jum‘ah Makri dan Khalid Zawari, keduanya non Ba‘alwi. Manuskrip tetap dapat dijadikan sumber data apalagi sudah terverifikasi meski belum terbit, misalnya seperti sumber-sumber yang dipakai oleh Carl Brokelmann (w. 1956 M) dalam penelitian dan karyanya.
Soal II: apakah al-Sakran (818-895 H) (turunan Faqih Muqaddam dari anaknya bernama Alwi) yang pertama kali menyebutkan nama ‘Ubaidillah untuk Abdullah bin Ahmad?
Jawaban II: sangat diragukan al-Sakran adalah orang pertama yang menyebut ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Sebab data empiris menjelaskan bahwa al-Sakhawi (830-902 H) telah bertemu Abdullah bin Muhmmad bin Ali (w. 886 H) salah satu Ba‘alwi yang telah meninggalkan Hadramaut tahun 821-822 H saat al-Sakran masih berumur 2-3 tahun. Abdullah lalu berdomisili di Mekkah, dan tidak kembali lagi ke Hadramaut sampai wafat di Mekkah. Abdullah inilah yang al-Sakhawi ketemu dan tulis nasabnya secara lengkap sampai ke Ahmad bin Muhammad (Faqih Muqaddam) dan terus sampai ‘Ubaidillah (Abdullah) bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja‘far al-Shadiq sampai ke Ali bin Abi Thalib (al-Sakhawi, 1991, V, 59). al-Sakhawi bahkan sangat mungkin mendengar nama Ubaidillah (w. ± 383 H) tidak hanya dari Abdullah (w. 886 H) tersebut tetapi dari non Ba‘alwi. Sebab al-Sakhawi mendapati Abdul Kabir bin Abdullah al-Anshari al-Hadhrami (794-869 H) non Ba‘alwi. Abdul Kabir berasal dari Hadhramaut lahir dan tumbuh besar di sana lalu pindah ke Mekkah dan wafat di kota suci ini. Pointnya, Abdul Kabir bertemu dengan Abdurahman, Abu Bakar, Umar dan abu al-Hasan (Abdullah), mereka semua ini adalah keluarga Ba‘alwi (al-Sakhawi, IV, 304-305) dan merupakan kakek, ayah serta paman dari al-Sakran seperti akan dijelaskan dalam lanjutan Narasi al-Janadi
Konklusi II: Penting, saat al-Sakhawi bertemu dengan Abdullah Ba‘alwi (w. 886 H) dan Abdul Kabir (w. 869 H) yang non Ba‘alwi, berarti ia mendengar nama Ubaidillah (w. ± 383 H) dari keduanya sebab bertemu langsung. Ini juga berarti nama ‘Ubaidillah telah beredar sebelum al-Sakran. Apalagi Abdul Kabir justeru bertemu dengan kakek, ayah dan paman al-Sakran, jelas informasi Abdul Kabir ke al-Sakhawi saat itu sangatlah penting terkait nama ‘Ubaidillah; moyang Ba‘alwi. Maka pernyataan al-Sakran adalah orang pertama yang menyebut Ubaidillah jelas tidak benar dan tidak berdata. Meski mungkin al-Sakran adalah orang yang pertama menulis dalam kitabnya, tetapi hal ini juga belum pasti sebab ulama hadis umumnya memiliki catatan saat bertemu (talaqqi) dengan ulama dan catatan itulah yang dijadikan al-Sakhawi sebagai sumber untuk dimasukkan dalam kitabnya, atau bahkan saat itu ia justeru tengah menulis kitabnya. Adanya catatan al-Sakhawi lebih awal dari kitabnya sendiri dipastikan dengan rincinya al-Sakhawi menjelaskan biografi Abdullah (w. 886 H) dan Abdul Kabir (w. 869 H), sebab al-Sakhawi ketemu dengan keduanya di masa hidup mereka. Data al-Khatib al-Tarimi (w. 850 H) dalam Bamakhramah (2008, IV, 392-393, V, 18 merujuk manuskrip al-Jauhar al-Syafaf, I, 56-58, 77 karya al-Khatib) berkorelasi dengan data al-Sakhawi bahwa nama ‘Ubaidillah sebelum al-Sakran telah ada. Perlu diingat karya Bamakhramah yang sering menyebut karya al-Khatib al-Hadhrami al-Tarimi diterbitkan dari lima sumber naskah (Bamakhramah, I, 9)
Soal III: lalu bagaimana memahami teks berikut ini:
وقد فهمت مما تقدم اولا منقولا من تاريخ الجندي وتلخيص العواجي وسبق به الكلام في ترجمة الامام ابي الحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد جدِيد انه عبد الله بن احمد بن عيسى حيث قال: مِنْهُم ابو الْحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد بن حَدِيد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر الصَّادِق بن مُحَمَّد الباقر بن عَليّ بن زين العابدين بن الْحُسَيْن بن عَليّ ابْن ابي طَالب كرم الله وَجهه
(al-Sakran, 1347 H, 150-151)
Jawaban III: pertama, penggalan kata اولا منقولا bila ada yang mengartikan “dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat untuk pertama kali” tentu tidak tepat bila dilihat dari susunan sebelumnya yaitu وقد فهمت مما تقدم اولا منقولا. Lebih cocok yaitu “dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, ‘pertama yang dinukil/kutip’. Bila mengartikan ‘untuk pertama kali’ seolah-olah al-Sakran yang pertama menganalisis dan memberikan nama Ubaidillah untuk Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin al-‘Uraidhi. Namun jika diartikan dengan ‘pertama yang dinukil/kutip’ berarti ada narasi yang tengah al-Sakran bicarakan tentang Ubaid bin Ahmad dan ada pula narasi yang pertama kali dikutip yaitu nukilan dari sejarah (من تاريخ) al-Janadi (w. 730/2 H) dan al-‘Awaji (w. ?) terkait Abdullah bin Ahmad. Ini dipahami dari penggalan وقد فهمت مما تقدم al-Sakran utarakan setelah memuat syair Muhammad bin Ahmad al-Hadhrami (non Ba‘alwi) dan mengulang narasi pertama tentang Abu Jadid (w. 620 H) dari al-Janadi dan al-‘Awaji kemudian ia berkata انه عبد الله بن احمد بن عيسى ‘bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa’ (al-Sakran, 148-150). Perhatikan, di sini (h. 150) al-Sakran menghubungkan narasi al-Janadi yang menyebut nasab Abu Jadid sampai ke Abdullah bin Ahmad al-Muhajir dan terus sampai ke Ali bin Abi Thalib, dengan narasi syair Muhammad al-Hadhrami yang menyebut nasab Abu Bakar (w. 821 H) ayah al-Sakran sampai Ubaid bin Ahmad al-Muhajir sampai ke Husain serta Fatimah al-Zahra as. Dengan kedua narasi itu, al-Sakran ingin menyatakan bahwa syair Muhammad itu yang menghubungkan panggilan Ubaid bin Ahmad untuk Abdullah bin Ahmad dalam al-Janadi. Mengapa bisa demikian? Sebab nasab Abu Jadid dalam narasi al-Janadi dan nasab Abu Bakar dalam syair Muhammad al-Hadhrami keduanya bertemu di Abdullah bin Ahmad atau dipanggil Ubaid bin Ahmad; kedua, syair Muhammad al-Hadhrami tersebut berisi nasab Ubaid bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin al-’Uraidhi terus sampai ke Husein dan Fathimah al-Zahra (al-Sakran, 148-150). Berarti tidak tepat isi pernyataan bahwa kalangan Ba‘alwi saat itu hanya mengenal Ubaid bin Ahmad bin Isa (sampai Isa saja) sebab syair saat itu justeru dibuat oleh non Ba‘alwi yang menyebut nasab Ubaid sampai ke Nabi suci; ketiga, melalui dua narasi tersebut dipahami Muhammad al-Hadhrami yang menghubungkan Ubaid dengan narasi al-Janadi yaitu Abdullah sekaligus menjadi sebab bagi al-Sakran untuk mencari penyebab kenapa panggilan Abdullah menjadi Ubaid dan bahkan ‘Ubaidillah. Jadi bukan al-Sakran yang memberi nama ‘Ubaid maupun ‘Ubaidillah seperti telah dijelaskan di poin sebelumnya. Namun di sini al-Sakran berusaha mencari alasan mengapa Abdullah merubah namanya menjadi ‘Ubaidillah (al-Sakran, 151).
Konklusi III: menunjukkan al-Sakran tengah membicarakan dua narasi yaitu sumber awal yang dikutip dari sejarah dan berikutnya dari syair, keduanya menunjukkan hubungan Ubaid dan Abdullah adalah individu yang sama, dan jawaban serta konklusi II-III telah menunjukkan al-Sakran bukanlah yang pertama menyebut ‘Ubaidillah. Berarti nama Abdullah, Ubaid sebagai panggilan dan ‘Ubaidillah sudah dikenal di masa sebelum al-Sakran.
Narasi al-Janadi (w. 730/2 H)
Narasi al-Janadi tentang beberapa orang keluarga Abu Alwi/Ba‘alwi dalam al-Suluk fi Thabaqah al-‘Ulama wa al-Muluk (al-Janadi, 1995, II, 463) menjadikan orang tertentu memahami bahwa Ba‘alwi yang ada sekarang berbeda dengan Ba‘alwi yang disebut al-Janadi. Pemahaman tersebut karena hanya nasab Abu Jadid; bernama Ali yang disebut berujung pada Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa (al-Janadi, II, 135-136) sementara nasab Ba‘alwi berujung pada Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa tidak disebut. Dalam hal ini penulis sebenarnya telah memaparkan tentang Alwi bersaudara dengan Jadid dan Bashri, mereka bertiga anak Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad bin Isa (Konektivitas, 35-36, 46-47, 51).
Penyebutan nasab Abu Jadid dengan lengkap disebabkan: pertama, kebiasaan ulama saat menulis tokoh langsung menyebut nasabnya. Bila seseorang tidak disebut nasabnya karena telah disebut saat menyebut saudaranya misalnya Maimunah binti al-Harits (w. 51 H); isteri Nabi suci saw tidak disebutkan nasabnya oleh Ibn al-Atsir (w. 630 H) (1994, VII, 262) dan Ibn Hajar (w. 852 H) (1415 H, VIII, 322) karena sudah disebutkan saat membicarakan saudaranya yaitu Lubabah al-Kubra binti al-Harits (w. ± 30 H) (Ibn al-Atsir, VII, 246; Ibn Hajar, VIII, 299). Dengan menyebut nasab seseorang maka hal itu diharapkan telah mampu mengcover semua orang yang berasal dari keluarga yang sama. Hal ini telah berlaku umum di kalangan ulama; kedua, penyebutan nasab Abu Jadid secara lengkap karena al-Janadi tengah membicarakan orang-orang yang pernah mendatangi dan belajar di madrasah ummu sulthan. Meski demikian ia tidak lupa memberikan kode bahwa beberapa tokoh keluarga Abu/Abi Alwi akan dia sebutkan di mana Abu Jadid adalah salah satu dari mereka (al-Janadi, II, 135-136); ketiga, setelah memaparkan nasab Abu Jadid sampai ke Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) dengan pola dan logika musyajjar (MS), al-Janadi mengikat Abu Jadid dengan sebutan keluarga tertentu, agar pembaca dapat memahami asal komunitas Abu Jadid. Berikut narasi al-Janadi (lihat: al-Janadi, II, 136):
ويعرف بالشريف ابي الحديد عند أهل اليمن اصله من حضرموت من اشراف هنالك يعرفون بال ابي علوي
“dikenal dengan syarif Abi al-Hadid (Jadid) di masyarakat Yaman, aslinya dari Hadramaut dari (keluarga) asyraf. Disana mereka senantiasa dikenal dengan keluarga Abi Alwi”
Penggalan kalimat اصله من حضرموت من اشراف menunjukkan dua hal: (1) asal Abu Jadid dari wilayah Hadhramaut, berarti bukan dari tempat manapun. Di sini jelas penyebutan Hadhramaut, bukan Aden atau lainnya. Namun bila من حضرموت diartikan dengan sebagian wilayah Hadhramaut juga tidak keliru, bahkan dapat menjelaskan penegasan al-Janadi tentang sebagian tempat tertentu di Hadhramaut (kota Tarim kah di abad 6-7 H?). Di Hadhramaut telah ada sebagian asyraf dari keluarga Abu Jadid dikenal sebagai keluarga ayah/Abu Alwi; (2) dan dia dari asyraf; من اشراف (min) menunjukkan Abu Jadid salah satu syarif berasal dari komunitas asyraf yang telah ada di Hadramaut. Siapa mereka? yaitu komunitas yang senantiasa dikenal sebagai keluarga ayah Alwi seperti penggalan يعرفون بال ابي علوي. Dari sini dapat dinyatakan di Hadhramaut terdapat komunitas asyraf dikenal sebagai keluarga dari Ayah/Abi Alwi.
Lalu siapa tokoh-tokoh Ba‘alwi yang al-Janadi sebut? apakah Abu Jadid disebut sebagai keluarga Alwi/Ba‘alwi (باعلوي) atau justeru dengan sebutan keluarga ayah Abi Alwi (ال ابي علوي)? apakah beda moyang Abu Jadid dengan moyang Ba‘alwi yang ada sekarang?
Bila ada pendapat yang menyatakan tokoh-tokoh Ba‘alwi yang al-Janadi sebut berasal dari keluarga Abu Jadid; bernama Ali moyangnya bernama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir dan itu berbeda dengan Ba‘alwi Faqih al-Muqaddam (w. 653 H). Maka yang terpenting bagi yang berpendapat demikian yaitu membuktikan beberapa nama yang ada dalam narasi al-Janadi sebagai keturunan Abu Jadid.
Bila tak dapat membuktikan tentu pendapat di atas tidak berdasar sama sekali. Jika menyatakan tidak mengetahui keturunan Abu Jadid selanjutnya, maka mengapa al-Janadi menyebut mereka, terutama orang-orang yang sezaman dengan al-Janadi? Jika menyatakan beberapa tokoh Ba‘alwi yang al-Janadi sebut adalah keluarga Abu Jadid sebagai turunan (bani) Jadid bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir, maka mengapa setelah Abu Jadid tidak ada kabarnya lagi? Masuk akalkah jika turunan Jadid bin Abdullah atau bahkan turunan Abu Jadid masih hidup lalu orang seperti al-Sakran (818-895) mencangkok Ubaid ke moyang Abu Jadid yaitu Abdullah, sementara keturunan/bani Jadid lainnya berdiam atau bahkan ulama di rentang masa 650-900 H juga ikut diam saja? Banyak pertanyaan yang wajib dijawab secara historis oleh mereka yang berpendapat bahwa Ba‘alwi Abu Jadid berbeda dengan Ba‘alwi Faqih al-Muqaddam.
Sebelum ke narasi al-Janadi, perlu dipahami bahwa Jadid dimaksud adalah saudara Alwi dan Bashri mereka bertiga anak dari Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir. Abu Jadid yang bernama Ali hidup di abad 6 (estimasi 550-570 H) sampai dua dasawarsa awal abad 7 H; wafat 620 H adalah salah satu turunan Jadid saudara Alwi tersebut (Konektivitas, 46, 44-47, 51).
- Penggunaan kata keluarga ayah Alwi dan Ba‘alwi dalam Narasi al-Janadi
ومن بيت أبي علوي قد تقدم لهم بعض ذكر مع ذكر أبي جديد مع واردي تعز وهم بيت صلاح طريق ونسب فيهم جماعة منهم حسن بن محمد بن علي باعلوي كان فقيها يحفظ الوجيز للغزالي غيبا(al-Janadi, II, 463)
“dan dari rumah (keluarga) Abi/Ayah Alwi telah lewat penyebutan sebagian mereka saat menyebut Abi Jadid bersama dengan mereka yang datang ke Ta‘izz. Dan mereka (keluarga ayah Alwi) adalah rumah kebaikan, jalan (thariqah tasauf) dan nasab. Di (keluarga) mereka ada sekelompok (ahli ilmu) diantaranya Hasan bin Muhammad bin Ali Ba‘Alwi (keluarga; turunan Alwi bin Abdullah bin Ahmad), dia faqih, hafal al-Wajiz karya al-Ghazali secara ghaib (tanpa melihat)”
Perhatikan, saat al-Janadi menyebut dari keluarga ayah/Abi Alwi, nama Abu Jadid disertakan seperti narasi al-Janadi lainnya saat memaparkan nasab Abu Jadid dengan يعرفون بال ابي علوي (al-Janadi, II, 136). Di dua tempat ini Abu Jadid tidak disebut dengan Ba‘alwi (باعلوي) tetapi termasuk dalam keluarga Ayah Alwi (ال ابي علوي). Apakah sebutan Abi Alwi dengan Ba‘alwi beda? Dari satu sisi beda, sebab Abu Alwi berarti dari turunan Ayah Alwi yaitu Abdullah (‘Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir. Kalau disebut Ba‘alwi adalah turunan dari Alwi saja, dan Alwi bersaudara dengan Jadid. Keduanya anak Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir (lihat pula Konektivitas, 47). Dari sisi lain sama melalui يعرفون بال ابي علوي menunjukkan semua turunan Alwi, Jadid dan Bashri berpucuk ke Abdullah (‘Ubaidillah) maka mereka semua diberi gelar keluarga (turunan) Ayah/Abi (kunyah) Alwi.
Di dua narasi (ال ابي علوي) (al-Janadi, II, 136, 463) sebenarnya menunjukkan ketelitian al-Janadi. Abu Jadid disebut bagian dari keluarga ayah/Abi Alwi (ال ابي علوي) adalah tepat sebab Abu Jadid bukan turunan Alwi maka tidak disebut Ba‘alwi (باعلوي) melainkan turunan dari saudara Alwi yaitu Jadid maka disebut dengan keluarga ayah Alwi (ابي علوي ال). Penegasan narasi al-Janadi terlihat saat menyebut nama Hasan bin Muhammad, dan di belakang namanya disebut keluarga Alwi/Ba‘alwi (باعلوي).
Sesungguhnya dari teks tersebut telah jelas menunjukkan Hasan adalah turunan Alwi (باعلوي) bin Abdullah (Ubaidillah) bin Ahmad al-Muhajir, sementara Abu Jadid (namanya Ali) turunan Jadid yang masuk dalam rumpun keluarga besar ayah Alwi (ال ابي علوي) keduanya (Hasan dan Abu Jadid; Ali) bertemu nasab mereka di Alwi dan Jadid yang bersaudara karena mereka (Alwi dan Jadid) adalah anak Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.