Penulis: Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Di mana-mana di kolong langit ini, hanya sedikit orang yang mampu membacat tanda-tanda zaman se bagai kekuatan kekuatan sosial- budaya yang sedang bekerja untuk membentuk sejarah hari esok. Sat di antara segelintir orang semacam itu adalah Habib Idrus bin Salim Aljufri, dikenal degan sapaan “Guru Tua”. Tokoh ini mempesona bila kita menempatkannya dalam konteks waktu, sosial, dan budaya komunitas Muslim di Indonesia bagian timur pra-kemerdekaan.
Pada 1930 ketika beliau mendirikan institusi pendidikan Islam di Palu, Sulawesi Tengah, nyaris seluruh umat Islam di Indonesia bagian timur hidup dalam kemiskinan dan kebodohan mengingat absen-nya akses pendidikan Islam di kawasan itu. Guru Tua mempesona karena dengan sarana materi dan non-materi yang sangat minim beliau yakin ikhtiarnya membangun lembaga pendidikan Islam — kini dikenal sebagai “Alkhairaat” – adalah sarana strategis untuk membebaskan umat Islam dari kebodohan, kemiskinan, dan penjajahan.
Beliau pastilah seorang visioner. Kalau tidak, mustahil ia berjibaku dengan tangan kosong di wilayah minus ketika sebagian besar masyarakat pesimis mengenai masa depan. Ya, bagaimana mungkin masa depan bisa diraih dengan keterbatasan yang sempurna? Harus diingat bahwa Guru Tua ketika itu tidak mahir berbahasa Indonesia. Namun, terbukti ikhtiar itu berhasil, bahkan Alkhairaat kini menjadi lembaga pendidikan Islam terbesar dan terpenting di Indonesia bagian timur setelah menghasilkan ribuan alumni yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia yang, pada gilirannya, berkontribusi bagi kemajuan agama, bangsa, dan negara.
Kita tak mungkin memahami kerja-kerja “ajaib” Guru Tua tanpa menempatkannya dalam konteks sejarah zamannya. Juga latar belakang keluarganya. Beliau lahir di Taris, Hadramout, Yaman Selatan, pada 1892 dari keluarga ulama. Ayahnya, Salim bin Alwi Aljufri, adalah ilmuan yang menulis banyak buku dalam banyak bidang ilmu dan menjabat qadhi dan mufti. Kakeknya, Alwi Aljufri, seorang ilmuan masyhur, salah satu dari lima fuqaha yang fatwanya termuat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin.
Ketika berusia 12 tahun, Guru Tua telah hafal Al-Qur’an. Pendidikan tingginya di tempuh di Tarim, Hadramout. Ini kota bersejarah yang banyak melahirkan ulama sufi yang tersohor. Ketika ayahnya meninggal pada 1916, Guru Tua memimpin lembaga pendidikan yang didirikan ayahnya. Pada tahun itu juga beliau diangkat menjadi mufti dan qadhi Kota Taris menggantikan ayahnya dalam usia 25 tahun.
Pencapaian itu menunjukkan, beliau berpengetahuan luas dan berwibawa. Kendati telah memiliki jabatan, beliau tetap kritis terhadap kekuatan imperialisme Inggris, bahkan sikap anti-penjajahan itu pula yang kemudian membawanya ke luar dari Yaman menuju Hindia Belanda pada 1922, dalam usia 30 tahun, usia yang cukup matang untuk memahami dinamika dunia luar.
Melihat pengorbanan besar beliau meninggalkan kampung halaman, anak-istri, dan jabatan untuk selamanya tidak memungkinkan kita untuk berspekulasi bahwa beliau ke Nusantara untuk mencari penghidupan material yang lebih baik. Tindakan itu hanya bisa dipahami dari perspektif perjuangan suci untuk mewujudkan visi beliau tentang Islam masa depan di negeri baru. Toh, di Hindia Belanda beliau tak memilih Jawa sebagai basis perjuangannya, melainkan Indonesia bagian timur yang termarginal, miskin, dan sunyi dari Islam sebagai agen perubahan sosial, budaya, dan politik.
Padahal, waktu itu Dunia Islam sedang bergolak pasca kekalahan Khilafah Usmani dari sekutu dalam Perang Dunia I dan kaum nasionalis sekuler di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk telah mengambil kendali pemerintahan di Turki sebelum khilafah benar-benar dibubarkan pada 1924. Inggris dan Perancis yang menduduki Timur Tengah membagi-bagi kawasan itu ke dalam berbagai negara.
Sementara tanah Palestina yang diduduki Inggris diberikan kepada kaum Yahudi yang di kemudian hari mendirikan negara Israel. Di Nejd dan Hijaz gerakan Wahabisme sedang bangkit. Pada 1932 gerakan itu berhasil mendirikan kerajaan Arab Saudi di bawah Dinasti al-Saud setelah menghancurkan Dinasti Hasyimiyah di Mekkah yang menimbulkan kecemasan Ahl Sunnah wal-Jamaah di seluruh dunia.
Alhasil, hasil Perang Dunia I dan runtuhnya khilafah Usmani menimbulkan perpecahan di Dunia Islam antara pihak yang mendukung pembubaran khilafah dan yang berusaha mendirikan khilafah pengganti seperti gerakan di Anak Benua India yang dipimpin Abul A’la Maududi. Sisanya mencari jalan tengah di antara dua kubu itu, seperti yang dilakukan Hasan Al-Banna dari Mesir yang mendirikan Ikhwanul Muslimin. Di Indonesia, respons kaum Muslim terhadap kejatuhan khilafah ditandai oleh berdirinya Nahdlatul Ulama pada 1926. Sebelum itu, gerakan pembaharuan pemikiran Islam telah marak di dunia Islam. Di antaranya, dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dari Iran dan Muhammad Abduh dari Mesir.
Di tanah air, pada 1905 berdiri Jamiaat Alhair di Jakarta atas inisiatif para habaib. Inilah gerakan pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Pada 1914, keturunan Arab dari kelompok non-Sayyid mendirikan organisasi al-Irsyad dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Pada 1923, seorang guru agama di Bandung, A. Hasan, mendirikan Persatuan Islam (Persis). Kecuali Jamiaat Alkhair dan NU, semua gerakan Islam yang disebutkan di atas bercorak modernis, yang merambah jalan baru untuk Islam berkemajuan.
Dus, kedatangan Habib Idrus Aljufri di Palu, Sulawesi Tengah, pada 1929 bertepatan dengan pergolakan pembaharuan pemikiran Islam di dunia Islam pada umumnya, dan di tanah air pada khususnya. Harus diingat juga pada masa ini gerakan sosial, budaya, dan politik untuk mengusir penjajah di tanah air sedang meluas, ditandai dengan berdirinya Jamiaat Alkhair (1905), Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1912), PKI (1914), PNI (1927), dan PSI (1945).
Dus, sejak dari Hadramout, Guru Tua telah juga hanyut dalam pusaran pemikiran dan pergerakan Islam lokal dan global dalam mencari jalan baru bagi umat dengan menitikberatkan pada perjuangan mengusir penjajah serta memberdayakan umat melalui pendidikan. Karena umat di timur tak punya akses pada pendidikan Islam, beliau melihatnya sebagai tantangan. Dan menganggapnya sebagai tugas menghadirkan lembaga pendidikan Islam yang murah meriah bagi semua.
Jejak nasionalisme Guru Tua terungkap dalam pernyataannya yang masyhur: “Tiap bangsa memiliki simbol kemuliaan dan simbol kemuliaan kami adalah Merah Putih.” Dalam praktiknya, murid-murid Alkhairaat diajarkan lagu-lagu bertema nasionalisme. Sebagai murid awal di sekolah Alkhairaat di Ternate pada 1966, saya ingat setiap hari kami menyanyikan lagu-lagu mars cinta tanah air ciptaan Guru Tua. Ketika beliau mengunjungi Ternate pada 1968, saya mencermati sikap hormat luar biasa para tokoh dan guru agama di Ternate kepada beliau.
Konsekuensi dari resistensinya terhadap penjajah, awalnya permohonannya untuk mendirikan Alkhairaat ditolak rezim Belanda. Dan pada masa penjajahan Jepang ketika Alkhairaat harus ditutup, Guru Tua melakukan perlawanan senyap dengan membuka pembelajaran rahasia di malam hari bersama murid-muridnya yang setia. Aktivitas ini tentunya berbahaya bagi nyawanya bila diketahui Jepang. Tapi ini konsekuensi logis dari sikap gigihnya melawan penjajah. Toh, inti ajaran Islam adalah membebaskan manusia dari khurafat dan penindasan.
Guru Tua wafat pada 1969 ketika Alkhairaat telah memiliki 500 unit sekolah dari tingkat ibtidayah sampai universitas. Kini jumlahnya melebihi 2.000 unit. Kendati demikian, Alkhairaat tetap tawadhu seperti sikap Guru Tua. Lembaga pendidikan itu tetap istiqamah pada cita-cita kebangsaan pendirinya dengan tidak membawa-bawa nama institusi ke dalam dunia politik praktis. Dengan begitu, Alkhairaat terbebas dari campur tangan kekuasaan dan partai politik, serta dapat meneruskan gerakan dakwah dan pendidikan yang masih relawan hingga hari ini.
Untuk semua jasanya kepada bangsa, pada 2010 pemerintah NKRI menganugerahkan Bintang Maha Putera Adipradana pada beliau. Bintang ini diberikan kepada mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan NKRI. Kendati demikian, para cerdik pandai alumni Alkhairaat dan sejarawan nasional menganggap Guru Tua layak ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dalam rangka inilah pada 6 September 2022 di Ternate digelar seminar pengusulan Guru Tua menjadi pahlawan nasional. Kehadiran Prof. Dr. Aziumardy Azra, intelektual Muslim dan sejarawan Islam terkemuka dari Perserikatan Muhammadiyah, memperkuat legitimasi tema seminar sekaligus mengkonfirmasi ketokohan Guru Tua.
Syarat menjadi pahlawan nasional, di antaranya, WNI atau orang yang berjuang di wilayah NKRI, memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Mempertimbangkan semua syarat ini, kiranya Habib Idrus bin Salim Aljufri lebih dari layak untuk mendapat gelar itu.