Penulis: Dr. Ja’far Assagaf., MA
email: jafar.assagaf@uin-suka.ac.id
Agar semakin mudah dipahami oleh pembaca tentang kelemahan nalar, logika dan data yang Imad gunakan tentang syuhrah (popular) dan istifadhah (merata) terhadap nasab ba‘alwi, maka penulis akan menelusuri pernyataannya dengan membuat analogi terhadap hal-hal empiris yang ada dan berjalan di tengah-tengah Masyarakat. Imad menyatakan nasab ba‘alwi tidak syuhrah dan tidak istifadhah dengan mencontohkan nasab Abu Bakar al-Shididq (w. 13 H) telah syuhrah dan istifadhah sementara nasab Ibn Jauzi (w. 597 H) hanya syuhrah saja (terputusnya, h. 37-39). Contoh yang dikemukakan ini menunjukkan naifnya nalar, logika dan data Imad, sebab:
I. Nasab Abu Bakar (w. 13 H) sebagai turunan Quraisy telah syuhrah dan istifadhah di masa dia hidup tanpa adanya kitab Nasab atau Lainnya.
Perlu diingat kitab nasab dan lainnya baru muncul di rentang abad kedua dan ketiga hijriah untuk menegaskan kembali bahwa Abu Bakar adalah turunan Quraisy. Artinya tanpa kitab nasab saat Abu Bakar hidup, dia tetap syuhrah dan istifadhah karena tasamu’ (dengar mendengar, terdengar) di kalangan Quraisy secara turun temurun bahwa dia adalah anak Utsman bin ِ Amir bin ‘Amr bin Ka‘ab bin Sa’ad bin Taim (asal bani Taim) menurut al-Kalabi (w. 204 H) (1983, h. 15). Perhatikan, al-Kalbi tidak menulis nasab lengkap Abu Bakar sampai ke Fihr sebagai Quraisy (versi pertama) atau al-Nadhar bin Kinanah sebagai Quraisy (versi kedua)? Jawabannya sudah syuhrah dan istifadhah. Hal yang sangat penting apakah tanpa kitab nasab, maka orang-orang yang hidup semasa dengan Abu Bakar menyatakan ia bukanlah Quraisy? Ini mustahil. Disinilah sebenarnya Imad sedang menframing antara syuhrah dan istifadhah yang sudah ada di masyarakat tanpa adanya kitab dengan syuhrah dan istifadhah yang dilanjutkan melalui penulisan/mencantumkan di kitab.
Abu Bakar adalah turunan Quraisy telah syuhrah dan istifadhah saat kitab-kitab Nasab, Sejarah (Tarikh), Sirah, Thabaqat belum ditulis. Meski jarak kitab-kitab itu dengan Abu Bakar 200-300 tahun, sementara jarak Abu Bakar ke Taim bahkan ke Fihr bisa ratusan tahun lamanya tetapi ulama tetap menerimanya disebabkan syuhrah dan istifadhah. Di sini harusnya ada dua tahapan yang Imad secara sengaja mengaburkannya, yaitu tahapan syuhrah dan istifadhah yang riil saat Abu Bakar hidup tanpa ada kitab yang mencatat dan tahapan syuhrah dan istifadhah yang diinfokan kemudian hari dalam kitab yang jaraknya jauh dari Abu Bakar apalagi dengan moyangnya Taim dan Fihr (Quraisy).
Dengan demikian nasab Abu Bakar telah syuhrah dan istifadhah di masa dia hidup dan dikuatkan dengan apa yang ditulis al-Kalbi dan lainnya. Maka harus dibedakan kenyataan riil yang terjadi saat itu bahwa Abu Bakar turunan Qurasiy dengan apa yang diinfokan dalam kitab di kemudian hari tentang nasabnya. Saat al-Kalbi yang jaraknya ratusan tahun dengan Taim bahkan Fihr dapat diterima, maka bagaimana dengan jarak Abu Jadid dengan Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang Imad tolak padahal jaraknya lebih dekat?
Jika Imad bisa menerima logika nasab Abu Bakar tersebut, maka mengapa tidak bisa menerima bahwa syuhrah dan istifadhah ba‘alwi telah ada sebelum adanya kitab yang mencatatnya seperti dalam contoh Abu Bakar di atas? Bukankah al-Janadi telah menyatakan bahwa mereka dikenal dengan keluarga ayah Alwi? Berikutnya mengapa Imad tidak bisa menerima musyajjar yang al-Janadi (w. 730/2 H) sebutkan untuk Abu Jadid ke Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir padahal rentang waktunya hanya 160-170 tahun? Sementara jarak al-Kalbi ke Taim jauh lebih lama masanya? Al-Janadi dengan estimasi lahir 650-670 H kemungkinan bertemu dengan orang yang bertemu dengan Abu Jadid yang wafat 620 H, atau secara pasti al-Janadi memiliki kakek guru yang bertemu dengan Abu Jadid. Hal ini bisa dilihat dari thabaqah karya al-Janadi.
II. Sumber syuhrah Nasab Ibn Jauzi (w. 597 H)
Saat Imad mencontohkan nasab Ibn Jauzi al-Hanbali (w. 597 H) adalah syuhrah turunan suku Quraisy melalui Abu Bakar al-Shiddiq, dan dengan contoh itu dia menyimpulkan nasab ba‘alwi tidak syuhrah, maka di sini tampak Imad benar-benar menframing bahkan culas untuk ke sekian kalinya. Mengapa? sebab nasab Ibn Jauzi sampai ke Abu Bakar justru disebutkan oleh cucunya yaitu Yusuf; dikenal dengan Sibth Ibn Jauzi (w. 654 H) (XXII, h. 93-94) sementara ulama sezaman atau mendekatinya tidak menyebutkan nasabnya. Ibn Atsir (w. 630 H) dan lainnya memang menyebutkan Ibn Jauzi namun tidak menyebutkan nasabnya, apalagi sampai ke Abu Bakar. Dengan mengikuti Sibth Ibn Jauzi, Ibn Khallikan (w. 681 H) kemudian menyebut nasab Ibn Jauzi secara lengkap
Dengan menjadikan nasab Ibn Jauzi sampai ke Abu Bakar adalah syuhrah sebagai sampel lalu menyatakan nasab ba‘alwi batal lantaran menurutnya tidak syuhrah, menunjukkan kelemahan nalar, logika dan metode yang Imad gunakan, yaitu:
Pertama, Imad sama sekali tidak mau menjadikan ulama ba‘alwi sebagai sumber dalam menukil nasab mereka sendiri, namun menjadikan nasab Ibn Jauzi syuhrah melalui keterangan cucunya sendiri, bukan ulama lain. Padahal telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang menukil nasab ba‘alwi secara lengkap melalui Abu Jadid adalah ulama non ba‘alwi seperti al-Janadi dan lainnya. Mengapa demikian culas? Kalau tidak boleh menerima keterangan nasab dari keluarga sendiri, mengapa Imad tidak menolak nasab Ibn Jauzi? Kalau dia menyatakan nasab Ibn Jauzi telah syuhrah maka dari mana sumber syuhrahnya itu? Tentu dari ungkapan yang beredar ketika itu namun belum ditulis dalam kitab, kemudian cucunya sendiri yang menulis dalam Mir‘at al-Zaman. Lalu ulama lain ikut menulisnya seperti Ibn Khallikan (w. 681 H). Ini dua hal yang berbeda, syuhrah yang telah ada saat Ibn Jauzi masih hidup dan syuhrah yang ditopang dengan keberadaan kitab pasca Ibn Jauzi
Kedua, jarak antara Ibn Jauzi ke Abu Bakar al-Shddiq sekitar 497-584 tahun, dihitung dari wafatnya Abu Bakar sampai masa Ibn Jauzi (lahir ± 510 H- wafat 597 H). Adakah kitab nasab yang menulis nasab Ibn Jauzi sampai ke Abu Bakar al-Shiddiq selain cucunya dalam kitab Tarikh? Beberapa referensi menyebutkan ada ulama bernama Ahmad bin Muhammad bin Ja’far al-Jauzi (w. ± 341 H) berguru kepada Ibn Abi al-Dunya (w. 281 H). Ahmad tersebut ulama terkenal, tapi tidak ada ahli nasab yang sezaman dengan Ibn Jauzi menyebut bahwa Ahmad adalah moyang Ibn Jauzi yang ke 7, kecuali cucu Ibn Jauzi sendiri lalu diikuti ulama lain. Bahkan ulama yang sezaman dengan Ahmad tersebut tidak menyebutkan nasab dia bersambung ke Abu Bakar al-Shiddiq. Hal ini belum ditambah dengan Abdullah bin al-Qasim bin al-Nadhar adalah moyang Ibn Jauzi yang ke 10 juga tidak disebut dalam kitab nasab yang sezaman bahwa nasabnya bersambung ke Abu Bakar. Kalau pakai teori Imad, mestinya Abdullah ini adalah tokoh a historis. Namun mengapa Imad menerimanya? Tidak lain karena ingin menframing dan memang culas terhadap logikanya sendiri supaya nasab Ba‘alwi ditolak.
Ketiga, apa yang Yusuf; cucu Ibn Jauzi cantumkan dalam kitabnya tentang nasab kakeknya yaitu Ibn Jauzi, tentu bersumber dari Ibn Jauzi sendiri. Dapat dipastikan mereka memiliki musyajjar keluarga masih dalam bentuk tasjil (catatan atau lainnya). Musyajjar inilah yang kemudian ditulis dalam Mir‘at al-Zaman. Sebab kalau tidak demikian maka dari mana Yusuf; sibth Ibn Jauzi dapat menyatakan kalau kakeknya adalah turunan Abu Bakar al-Shiddiq?, sementara kitab nasab sezaman tidak ada yang menyebutkan Ibn Jauzi, Ahmad bin Muhammad dan Abdullah memiliki hubungan geneologi sampai ke Abu Bakar al-Shddiq. Secara halus di bagian ini, tanpa sadar atau memang sadar, Imad berlaku culas dengan berupaya menyingkrikan metode musyajjar ba‘alwi. Padahal Imad nampaknya sadar dan mampu menerima apa yang Ibn Jauzi tulis lalu diteruskan oleh cucunya dalam bentuk kitab. Jika mau konsisten, Imad harus mempertanyakan mengapa dan dari mana Ibn Jauzi khususnya atau cucunya menulis nasab mereka sampai ke Abu Bakar? Bukankah jarak Ibn Jauzi ke Abu Bakar sangat jauh?
Keempat, saat percaya bahwa nasab Ibn Jauzi adalah syuhrah, lagi-lagi Imad memperlihatkan keawamannya atau inkonsistensi, bahkan keculasannya. Sebab nasab Ibn Jauzi tidak disebut dalam kitab nasab tapi kitab Tarikh dan itupun oleh cucunya sendiri. Namun saat meminta nasab ba‘alwi, semua data dalam kitab sejarah ditolak, diframing dengan alasan tidak boleh kecuali dari kitab nasab, sehatkah hati Imad?
Dari empat poin di bagian ini menunjukkan bahwa: Pertama, secara sengaja Imad memisahkan antara apa yang terjadi secara riil dan telah diakui (syuhrah dan istifadhah) dengan apa yang ditulis kemudian. Adanya syuhrah dan istifadhah tidaklah bergantung pada kitab namun adanya kitab menunjukkan dan memperkuat syuhrah dan istifadhah yang sudah ada, dan bukan merupakan sesuatu yang baru seperti framing Imad. Inilah yang terjadi di nasab ba‘alwi yang telah syuhrah dan istifadhah lalu muncullah kitab yang kemudian menjelaskan. Hal ini dipahami sebab setelah adanya kitab yang mencantumkan nasab mereka, tidak ada ulama yang mengingkari khususnya ulama yang ada di masa nasab mereka baru muncul di kitab, yang menurut Imad itu nasab baru karena sebelumnya tidak syuhrah dan tidak istifadhah, padahal tidaklah demikian; Kedua, menilai semua ulama yang memuat dan mengakui nasab ba‘alwi seperti al-Janadi, al-Khazraji (w. 812 H), al-Syarji (w. 893 H), al-Sakhawi (w. 902 H) dan lainnya seolah-olah hanya mengantungkan informasi mereka tentang ba‘alwi dari kitab saja tanpa ada keterangan lainnya, khususnya syuhrah dan istifadhah. Seolah-olah mereka itu muncul dari hutan belantara dengan membawa data dan info baru dan belum didengar sama sekali, padahal tidaklah demikian.
Misalnya saat al-Sakhawi menulis secara lengkap nasab Abdullah bin Muhammad bin Ali (w. 886 H) sampai ‘Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, bagi Imad itu lantaran mengikuti al-Sakran (penulis telah menunjukkan kesalahan Imad di terdeteksi al-Sakran). Apa yang ditulis al-Sakhawi sebenarnya menunjukkan nasab ba‘alwi telah popular dan merata sebelum al-Sakhawi, dan itu telah ia sebutkan di bagian lain (lihat Abd al-Kabir w. 869 H). al-Sakhawi menyebutkan secara lengkap nasab ba‘alwi hanya saat dia memuat biografi Abdullah bin Muhammad karena keduanya bertemu, ini fokusnya dan ini kebiasaan para ulama. Saat ulama bertemu dengan salah satu tokoh dari keluarga tertentu maka tokoh itulah yang dieksplor lebih detail sementara keluarga besar dari tokoh itu sudah dikenal sebelum ulama dan tokoh itu bertemu. Disini letak framing dan keculasan Imad yang jelas sekali atau memang tidak paham alias awam?
III. Syuhrah dan Istifadhah dalam Kehidupan Nyata namun Belum Tercatat dalam kitab/buku
Untuk memperjelas dan mendekatkan logika pemahaman bahasan I dan II, maka bahasan III ini akan memperlihatkan hal-hal riil dalam kehdiupan nyata yang menunjukkan syuhrah dan istifadhah terjadi tanpa ada pencatatan sebelumnya, tetapi tetap ada meski hanya melalui informasi lisan (tasamu’), lalu dikuatkan dengan beberapa tulisan dalam kitab/buku.
a. Syuhrah dan Istifadhah Suatu Suku
Generasi semasa penulis khususnya yang berdomisili di wilayah timur Indonesia, saat menonton film G30S/PKI di era tahun 1984, hanya mengetahui bahwa jenderal yang lolos dari kematian bernama Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Penulis dan banyak lainnya yang saat itu belum ke Jawa dan wilayah barat Indonesia, tidak mengetahui bahwa Nasution adalah sebuah marga dari keluarga besar suku Batak. Yang mereka tahu bahwa kata nasution tidak lain adalah bagian dari nama sang Jenderal. Padahal tidaklah demikian, sebab Nasution adalah nama dari salah satu keluarga besar suku Batak sebagaimana Harahap, Sirait, Tampubolon dan lainnya yang sangat banyak.
Apakah sebagian orang tidak tahu tentang marga-marga Batak, akan Imad katakan bahwa marga-marga di atas tidak syuhrah dan dan tidak istifadhah lantaran tidak tercantum dalam buku nasab yang sudah dicetak? Sementara keluarga Batak dengan aneka marganya memiliki silsilah khusus di kalangan sendiri dan mungkin sebagian tidak dipublikasi ke umum? Tentu tidaklah demikian, sebab dan terpenting adalah marga-marga itu adalah bagian dari keluarga besar Batak yang jelas-jelas telah syuhrah dan istifadhah meski sebagian orang tidak menemukan silsilah mereka di buku/kitab yang dicetak saat itu.
b. Syuhrah dan Istifadhah Seorang Tokoh
Saat nama Hadratussyeikh KH Hasyim Asy‘ari (w. 1366 H/1947 M) hilang/tidak dicantumkan dalam Kamus Sejarah Indonesia (Kompas 21-04-2021) tidak menunjukkan bahwa pendiri NU tersebut adalah tokoh asing, apalagi a hsitoris (tidak ada). Justru sebaliknya, tanpa disebutpun nama sang Kiyai telah syuhrah dan istifadhah bagi semua orang Indonesia di masa sang Kiyai hidup sampai masa kini. Namun memang ada potensi syuhrah dan istifadhahnya memudar dan bahkan hilang di masa-masa mendatang jika tidak ditulis.
Jika seandainya nama sang Kiyai tidak dicantumkan, maka 200-500 tahun mendatang, akan muncul Imad-Imad baru yang menyatakan bahwa sang Kiyai adalah tokoh a historis. Padahal di zaman kini dan di saat sang Kiyai hidup, tidak diperlukan buku dan catatan tentang siapa sang Kiyai. Space ini yang coba Imad hilangkan untuk marga ba‘alwi. Syukurlah warga nahdliyyin aware (sadar) sehingga muncul protes agar mencantumkan nama sang Kiyai, sehingga potensi munculnya Imad-Imad di masa akan datang tidak akan terjadi yang menyatakan sang Kiyai tidak ada.
Jika Imad menerima logika di atas, harusnya hal yang sama dia pakai dalam memandang tokoh ba’alwi yang dia nilai a historis, khususnya Ubadillah/Abdullah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Poin penting, disini menunjukkan sesuatu yang menarik bahwa marga ba‘alwi di masa-masa itu tidak berpolitik dan tidak aware sehingga mereka tidak peduli apakah nama moyang mereka dan tokoh mereka ditulis atau tidak.
c. Syuhrah dan Istifadhah di Wilayah Tertentu
Ada kelucuan, logika buntu, dan keawaman Imad memahami syuhrah dan istifadhah saat dia menanggapi tulisan penulis pada tanggal 30 Mei lalu dia masukkan dalam buku Terputusnya (h. 77). Dia menulis TANGGAPAN TERHADAP BUKU DR. JA’FAR ASSEGAF, MA. dan penulis telah jawab langsung pada 31 Mei 2023.
Perhatikan, Imad menulis kata assEgaf (E) bukan assAgaf (A). Padahal mereka yang berasal dari Indonesia Timur (kecuali yang sudah lama di Jawa atau merantau) tahu dengan pasti bahwa marga assagAf di Indonesia timur ditulis dan disebut dengan A (assAgaf) bukan E (assEgaf). Pertanyaannya mengapa Imad menyamakan A dan E dalam penulisan Assagaf? Tentu bagi dia bahwa huruf A dan E dalam kata assAgaf/assEgaf adalah sama, sehingga dia menulis dengan huruf E. Padahal orang di Indonesia Timur menulis dengan huruf A, termasuk penulis yang menulis huruf A di e book Konektivitas. Jawabannya hanya satu, Imad sebenarnya mengakui bahwa tulisan A dan E untuk kata assAgaf maupun assEgaf adalah SAMA; tidak berbeda sebab sudah syuhrah dan istifadhah saat ini. Tentu dia tidak bisa katakan beda sebab dia sendiri yang menyamakan kedua kata tersebut (A dan E), berikutnya dia tidak mampu dan tak akan bisa membedakannya, sebab di masa kini dan sebelumnya orang-orang di Indonesia Barat dan Timur tidak membedakan huruf A atau E dalam kata assAgaf/assEgaf sebab keduanya sama saja berasal dari satu geneologi. Logika inilah yang harus Imad pakai untuk kata Abdullah dengan Ubaidillah, sayangnya dia ingkari. Sebaliknya secara naif dia tulis dan samakan antara kata assAgaf dengan assEgaf, mengapa? ya, karena memang sama bukan hurufnya tetapi asal geneologi keduanya.
Baik kata assAgaf dan assEgaf keduanya disebut sama di masa kini tanpa ada perbedaan, namun di masa 200-500 tahun mendatang tetap berpotensi muncul Imad-Imad lain yang membedakan bahwa assAgaf penulis artikel ini dengan assEgaf dai bernama Syekh bin Abd Qadir assEgaf adalah BERBEDA, padahal SAMA.
d. Syuhrah dalam Kajian Ilmiah
Sekitar Agustus 2008 (berdasar ingatan penulis) diadakan Workshop Dosen hadis se Indonesia di University Hotel UIN Sunan Kalijaga. Salah satu pematerinya adalah KH Jalaluddin Rahmat (w. 2021 M) dikenal dengan kang Jalal. Saat sesi diskusi, penulis bertanya namun akhirnya bukan tanya jawab, melainkan dialog ilmiah yang serius, adu argumentasi namun tetap hangat dan terjadi dalam waktu yang cukup lama di malam itu.
Untuk mengapresiasi kang Jalal (saat itu belum bertitel doktor dari UIN Alauddin), perlu penulis katakan bahwa sepanjang mengikuti seminar, workshop dan semacamnya, hanya bersama kang Jalallah penulis diberikan waktu yang sangat luas untuk berdialog, hal yang tak pernah penulis temukan di acara semisalnya, entah karena pematerinya tidak mau meneruskan dialog, tidak bisa atau belum tahu jawabannya, atau moderatornya yang beralasan klasik kalau waktunya sudah habis dan lainnya. Penulis merasa perlu untuk menyebutkan bagian ilmiah ini yang sangat menggugah antara penulis dengan kang Jalal (al-Fatihah li Dr. Jalaluddin Rahmat).
Diskusi ilmiah di atas adalah syuhrah sebab dihadiri dosen hadis PTKIN se-Indonesia bahkan beberapa dosen hadis dari PT Swasta juga ada. Tidak istifadhah karena hanya kalangan akademisi bidang tertentu/hadis yang hadir. Akan tetapi syuhrah ini berpotensi hilang oleh orang-orang seperti Imad di masa mendatang dengan menyatakan bahwa dialog itu tak pernah terjadi, jika penulis tidak menceritakan sekarang ini dalam tulisan. Sejarah ini ditulis bukan untuk sombong, riya dan semacamnya tapi untuk mencontohkan ke Imad bahwa kejadian semacam itu benar-benar terjadi dan peserta yang hadir sebagian besar masih hidup sampai sekarang, dan dapat dikonfirmasi; kecuali mereka lupa atau melupakannya. Namun sebagian lainnya telah wafat seperti ketua Asilha 2016-2021 kiyai Dr. Alfatih Suryadilaga (di forum inilah penulis berkenalan dengan pak Alfatih).
IV. Framing, Inkonsistensi, Logika Terbalik yang Naif
Tak bosan memproduksi framing, Imad justru memperlihatkan inkonsistensi logikanya sendiri, data dan metode yang dia gunakan serta kenaifan tentang harus ada kitab sezaman, perbedaan Abdullah dan ‘Ubadillah serta syuhrah dan istifadhah nasab ba‘alwi. Sebenarnya Imad telah kehabisan logika dan data sejarah sehingga ia bersikap demikian, berputar-putar semakin inkonsistensi. Berikut secara ringkas penulis kemukakan di antaranya:
Pertama, Imad menulis ba‘alwi adalah syarif dari Yaman berarti mereka dari Qahthan, yang berbeda dengan Ahmad bin Isa al-Muhajir sebagai turunan Ali dan Fatimah alaihima al-salam dari turunan ‘Adnan. Menurutnya al-Janadi salah menukil nasab Abu Jadid mesti nasabnya bersambung dari Alwi bin ‘Ulyan. Imad sangat naif, awam atau mungkin framing? sebab: (1) perbedaan nasab ba‘alwi dan nasab bani ‘Ulwi bin ‘Ulyan atau di baca ‘alwa dan kadang disebut ‘alwi (al-Kalbi, II, 527; Nisywan al-Humairi al-Yamani, VII, 4731) dengan nasab ba‘alwi yang dikenal sebagai turunan Ahmad bin ‘Isa telah jelas perbedaan keduanya di kalangan ulama khususnya ulama Yaman karena sebagian mereka adalah turunan bani Arhab yaitu kakek dari ‘Ulwi bin ‘Ulyan bin al-Arhab disebut juga al-Arhabi; (2) pada abad 6 H Ahmad al-‘Asy’ari al-Syafi’i (w. 600 H) menulis di antara turunan bani Arhab tersebut; (3) al-Syaukani (w. 1250 H) berasal dari turunan Khaisyanah adalah turunan Du’am bin Malik turunan dari ‘Abd bin ‘Ulyan bin Arhab saudara dari ‘Ulwi bin ‘Alyan bin Arhab; (4) faktanya sampai abad 18 Masehi bani al-Arhabi masih ada misalnya Muhammad bin al-Husein bin Daud al-Arhabi (w. 1702 M) (Zirakli, VI, h. 103; Ridha K, IX, h. 241; (5) turunan bani Arhab di Yaman sudah dari dahulu; sebelum Ahmad al-Muhajir ke Yaman. Bahkan menurut penulis kalau ditelusuri di Yaman turunan Arhabi masih ada dari salah satu anaknya. Karena itu, logika akan menolak jika al-Janadi keliru menulis nasab Abu Jadid.
Kalau nasab ba‘alwi Abu Jadid berasal dari bani ‘Ulwi al-Arhabi tentu akan disebutkan oleh ulama-ulama Yaman. Keberadaan turunan bani Arhab di Yaman dari masa lalu sampai kini akan menjadikan mereka protes jika al-Janadi keliru menyebut Abu Jadid ba‘alwi dan bukan bani ‘ulwi/ alwi al-Arhabi.
Perlu diinformasikan bahwa Arhab bersaudara dengan Marhubah dan Murah (Murrah), ketiganya anak Du‘am keturunan bani Hamdan. Anak Arhab yaitu Malalah, ‘Ulyan dan Sufyan. Anak ‘Ulyan yaitu ‘Ulwi, Abdan, Dzubyan dan Mujlidan (Mujallidan?) (al-Kalbi, II, 524-525)
Kedua, saat menyatakan kemungkinan al-Janadi keliru menulis nasab Abu Jadid menunjukkan secara nyata Imad sudah terjepit dan secara sadar meski tidak langsung mengakui tidak perlu lagi diperdebatkan antara Abdullah dengan ‘Ubaidillah adalah sosok yang sama atau berbeda sebab dia secara implisit mengakui dua nama itu sama. Hanya saja dia berusaha cari jalan lain untuk meragukan nasab ba‘alwi dengan menyatakan nasab mereka dari Ulwi bin ‘Ulyan al-Arhabi. Intinya Imad tidak menemukan jalan untuk melemahkan nama Abdullah yang al-Janadi tulis berbeda dengan ‘Ubaidillah.
Ketiga, saat menukil al-Iklil karya al-Hasan al-Hamdani (w. 334 H) dan lainnya, dari aspek kronologis dan logika tersambung dan terputus suatu nasab menunjukkan Imad terperosok dan meruntuhkan logikanya sendiri. Perhatikan al-tulisan al-Hamdani:
ومنه انتشرت بنو علوي انقضت بنو علوي
“dan darinya (‘Ulwi yang kecill bin ‘Ulyan bin ‘Ulwi yang besar) menyebar bani ‘Ulwi, telah selesai/ habis bani ‘Ulwi”
Penggalan انقضت بنو علوي dapat menunjukkan: (1) sampai zaman al-Hamdani, anak turunan ‘Ulwi sudah tidak ada, meski awalnya tersebar melalui keluarga (Al) ‘Ashim, Rausya dan Hakim yang jumlahnya sedikit seperti pernyataan al-Hamdani sebelum penggalan di atas; (2) menunjukkan bahwa keterangan tentang mereka sudah selesai dan akan dilanjutkan dngan bani lainnya. kedua poin ini (1 dan 2) jika diterima tetap memunculkan pertanyaan yang sama bahwa siapa turunan lanjutan dari ‘Ulwi bin ‘Ulyan, setidaknya sampai masa al-Hamdani? Namun disini tidak ada keterangan lain kecuali turunan ‘Ulyan bin al-Arhabi masih terus berlanjut.
Dari dua hal ini muncul kemungkinan poin (3) kalau turunan al-Arhabi dari jalur ‘Ulwi sampai masa al-Hamdani memang sudah tidak ada, meski turunan al-Arhabi lain masih ada namun bukan dari ‘Ulwi melainkan dari saudaranya ‘Abdan bin ‘Ulyan dan lainnya. Logika ini Imad abaikan saat melihat ba’alwi dari jalur Abi Jadid yang telah ada namun telah selesai (tidak berlanjut turunannya). Akan tetapi turunan abu ‘Alwi; Abdullah/’Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir tetap ada melalui anaknya yang lain yaitu ‘Alwi.
Keempat, Menelusuri Lembah sunyi Faqih al-Muqddam, Imad secara culas meragukan karya Ibn Hissan (w. 818 H) padahal Bamakhramah (870-947 H) dalam karyanya menyebut bahwa di antara sumber yang dia gunakan saat menyusun Qiladah yaitu Tarikh al-‘Allamah Ibn Hissan al-Hadrami, selain karya al-Janadi dan ulama lainnya (Bamakhramah, I, h. 40). Kitab Bamakhramah telah terbit dengan pemberi notasi non ba‘alwi (Narasi al-Janadi II). Jadi ada atau tidak ada Tarikh Syanbal, tidak mempengaruhi keberadaan Tarikh Ibn Hissan sebab telah diungkap Bamakhramah orang yang mendapati generasi yang mendapati Ibn Hissan.
Kelima, saat meragukan bahwa Ibn Hissan menulis karya khusus tentang Faqih al-Muqaddam, Imad secara culas dan menframing seolah-olah karya tersebut buatan Abdullah al-Habsyi (lahir 1949 M dan masih hidup). Padahal Bahnan lebih dahulu lahir dan wafat (1312-1383 H/ w. ± 1962/3 M) dari al-Habsyi, dan telah menulis Jawahir Tarikh al-Ahqaf terbit pertama 1963 M dan kedua di 1425 H/ sekitar 2004-2005 M seperti keterangan cucunya bernama Anas. Di dalamnya Bahnan membenarkan bahwa salah satu karya Ibn Hissan tentang Faqih al-Muqaddam (Bahnan, h. 9-10, 453). Apakah Imad akan berkata bahwa itu karena Bahnan adalah kolega ba‘alwi dan mengutip dari ba‘alwi?. Padahal yang harus diperhatikan bagaimana Imad mengiringg opini pembaca kalau kitab Ibn Hissan tidak ada tentang Faqih al-Muqaaddam alias palsu sebab al-Habsyi yang mentahqiq (beri notasi).
Jika menguji keberadaan teks buku (seperti yang Imad mau atau seperti yang ingin diframing?), maka karya Bahnan lebih dahulu dari al-Habsyi dan dia menyebut bahwa karya Ibn Hissan memang ada; terlepas dari manuskripnya seperti apa. Hal yang sama juga telah penulis kemukakan sampel lain, dan sampai hari ini Imad tidak bisa menjawabnya tentang naskah al-Syarji (w. 893 H) yang terbit pertama kali 1321 H/sekitar 1903 M di Mesir dan dibiayai oleh non ba‘alwi jauh sebelum al-Habsyi lahir. Sementara karya al-Syarji berikutnya terbit sekitar 1986 M dan diberi notasi oleh al-Habsyi. Faktanya, kedua terbitan itu tidak berbeda. Jadi untuk apa terus memproduksi framing data dengan minus logika serta naifnya terhadap filsafat sejarah?
Sketch: 1001 Inventions
Ralat versi PDF:
Halaman 3:
Tertulis: …al-Nadhar bin al-Qasam adalah moyang Ibn Jauzi yang 12… Harusnya: … Abdullah bin al-Qasim bin al-Nadhar adalah moyang Ibn Jauzi yang ke 10…
Tertulis: mestinya alNadhar ini adalah tokoh a historis. Harusnya: mestinya Abdullah ini adalah tokoh a historis.
Tertulis: …dan al-Nadhar memiliki hubungan geneologi sampai ke Abu Bakar al-Shddiq. Harusnya: …dan Abdullah memiliki hubungan geneologi sampai ke Abu Bakar al-Shddiq.